Menemani Teman Jalan-jalan
"Satria, aku disini." Teriak seorang pemuda dengan kaos warna hijau sambil melambaikan tangannya. Satria yang dari tadi memperhatikan lalu lalang orang di bandara Adisucipto menoleh dan balas melambaikan tangan. Ahmad, demikian nama pemuda itu memeluk teman karibnya.
Satria dulu pernah kuliah di universitas Temasek Singapura dan ia memiliki seorang teman akrab disapa yaitu Ahmad. Ia suka dengan Ahmad karena suka menolong dan bicara bahasa Melayu. Setelah lulus kuliah mereka tetap berhubungan lewat internet biarpun berjauhan.
Pemuda berusia 23 tahun itu sering memberi tahu kehidupan nya disana, termasuk ketika ia diterima di terima di sebuah perusahaan swasta disana. Satria tentu saja ikut senang. Tahun lalu ia ke negeri singa itu berbekal uang tabungan yang sudah ia persiapkan selama setahun. Kini Ahmad membalasnya dengan datang ke Yogyakarta.
Setelah basa-basi sebentar seperti menanyakan kabar perjalanan akhirnya dua sahabat itu lalu cabut dari bandara menuju rumahnya yang ada di Bantul dengan berbekal mobil Avanza kepunyaan paman Satria yang bernama Dahlan.
"Wah, wanita sini cantik cantik ya Sat." Celetuknya ketika mobil mereka berhenti di perempatan lampu merah dan melihat beberapa cewek naik motor di sampingnya. Satria hanya senyum saja karena ia merasa biasa. Memang waktu belajar di Singapura ia agak jarang melihat cewek cantik lokal di kampus maupun di jalan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih akhirnya mereka sampai juga di rumahnya.
Begitu turun dari mobil Ahmad bertanya serius." Ini beneran rumahmu Sat?" Tanyanya melihat rumah bergaya kekinian dengan halaman cukup luas.
"Bukan, itu rumah bapakku."
"Iya tahu sih, tapi beneran ini rumah orang tua mu ya?"
"Lha iya lah. Emang kurang bagus apa."
"Ya tidak nyangka saja, ternyata orang tuamu miliarder ya, bisa punya rumah dengan halaman luas begini."
Satria hanya nyengir saja disangka miliader oleh sahabatnya itu. Maklum, harga tanah di Singapura memang gila gilaan, menurut temannya, satu meter persegi dihargai 10 ribu dolar Singapura atau 100 juta rupiah, itupun tanahnya ada di luar kota, kalo di Bantul seperti ia mah bisa dapat satu hektar, minimal 500 meter persegi lah seperti miliknya. Bangun rumah 100 meter persegi bisa habis 20 miliar rupiah. Belum lagi biaya lainnya.
Setelah masuk dan disambut ramah oleh pak Dahlan yang empunya rumah maka setelah makan siang mereka berdua lalu jalan-jalan.
Satria lalu mengajak temannya itu keliling dusun. Temannya itu senang karena para warga dusun sangat ramah kepadanya.
Saat sedang jalan-jalan itu mereka melihat kerumunan orang orang di balai desa. Tanpa ba-bi-bu, Ahmad langsung saja ikut antri di belakang warga yang berkerumun.
Tentu saja satria terkejut. Ia teringat saat masih kuliah di Singapura dulu temannya itu juga pernah berbuat seperti itu. Waktu itu mereka berdua baru pulang dari kampus dengan berjalan kaki. Saat di tengah jalan ada puluhan orang yang antre di depan sebuah toko. Ahmad yang sedang berjalan tiba-tiba langsung berlari dan antri di belakang mereka. Satria yang bingung juga ikut-ikutan antri. Beberapa orang yang lewat juga ada yang mengikuti.
Setelah lima menit mengantri akhirnya satria buka suara." Kita ini sedang antri apa ya?"
Ahmad yang sedang main hape menyahut."Wah ngga tahu Sat, aku kalo lihat antrian ya ikut antri saja."
Sueee, maki Satria dalam hati.
Bukan cuma hari itu, bahkan beberapa kali ia lihat temannya seperti itu, mengantri sesuatu yang bahkan ia tidak tahu itu antrian apa. Konon itu adalah "semangat kiasu", yang artinya takut kehilangan. Jika ada orang mengantre itu tandanya barang bagus, kalo tidak bagus untuk apa orang-orang bergerombol bukan, begitu kata teman lainnya.
Kini di Jogyakarta Ahmad juga ikutan antre. Ia segera saja menepuk pundaknya." Ahmad, biarpun kamu mengantri berjam-jam juga ngga bakalan kamu dibagi oleh petugas itu."
"Lha, emang ini antrian apaan Sat?"
"Pembagian BLT." Ujar Satria tanpa menjelaskan apa itu BLT lalu mengajak temannya pergi. Maklum, nanti disangkanya warga lokal banyak yang kere.
Ia lalu mengajak temannya untuk berwisata ke candi Prambanan, setelah puas menjelajahi bangunan bersejarah itu mereka berdua ke keraton Jogja yang merupakan salah satu destinasi wisata populer.
Setelah puas jalan-jalan Satria lalu mengajak temannya itu untuk makan di sebuah restoran terkenal karena tahu sahabatnya itu sudah terbiasa dengan high class. Mau pakaian ataupun makanan harus bagus.
"No.. no Satria, aku maunya lokal street food saja, mumpung di Indonesia. Katanya makanan lokal sini oke banget."
Satria tentu saja senang. Ia lalu membelokkan kendaraan roda empat nya ke sebuah lesehan di jalan Malioboro.
Pemuda itu lalu memesan pecel ayam. Setelah menunggu 10 menit hidangan akhirnya tersaji juga. Pemilik warung makan lalu memberikan sebuah kobokan yang berisi irisan jeruk nipis.
Tanpa ba-bi-bu, Ahmad langsung menuangkan air kobokan itu di piring lalu memakannya.
"Rasanya enak Sat, seperti nasi Hainan, cuma kaldunya terlalu tawar."
Ya salam, Satria cuma bisa tepok jidat.
TAMAT
aku jadi gini mas 🤭, pas baca bagian antri blt nda dijelasin kenapanya hihihi
tenyata ahmad pecinta nasi hainan ya hahahhaha...
kalau mbul dulu pernah icip nasi ayam hainan, cuma lidahku belum begitu akrab drngan rasanya, soalnya agak mirip opor ya, apa tim...
mas asyik kali ya jalan jalan, kalau ke jogja mbul pengennya sih ke tempat yang dingin dingin atau kaliurangvdan pantai parangtritis hihihi
hehehe
Ini sama kayak di Buton, kalau di rumah makan selalu ada air kobokan di mangkok gitu, dikasih potongan jeruk :D
Kebanyakan orang di sana juga kalau makan pasti ada kobokan di meja, bapak saya sampai sebelum meninggal, kalau makan juga gitu, harus ada kobokan :D
Udah mana ikut ngantri BLT, ehh ini makan air kobokan.. Disangka Lime Squash kali yaaa... Tinggal dikasih Es. wkwk 😅
Ya ampuuunnn ada-ada aja cerpen Mas Agus.. Bisaan nyari jalan ceritanya.. hihi..
Tipikal Mas Agus lah pokoknyaaa.. 😁
Kocak amat yg masalah antri. Aku malah kebalikannya mas, terlalu panjang antrian, udahlaaah kapan2 aja belinya 🤣
Gokil ceritanya Bang, Teddy suka.
gini ini ya kalau punya temen beda budaya, kebiasaan juga
cuman ya gimana cobak kalau air kobokan dicampur ke piring, astagahhh hahaha