Acara jerit malam di Persami

Table of Contents

 

Gambar hasil kreasi AI

Persami atau perkemahan Sabtu Minggu adalah pelantikan anggota baru Pramuka yang diadakan oleh sekolah. Biasanya persami dilaksanakan di sebuah tanah lapang yang luas yang seringnya di tempat sepi, kalo bukan di desa terpencil ya di pinggir hutan.

Kegiatan Persami sendiri rutin dilakukan di SMA sekolahku karena Pramuka merupakan kegiatan ekstrakurikuler wajib.

Seperti hari ini. Aku dan semua pembina Pramuka serta anak kelas 1 SMA yang ikut Pramuka sudah datang ke lapangan untuk mulai kegiatan Persami. Aku ikut karena merupakan anggota dewan ambalan. Bagi yang belum tahu, dewan ambalan adalah pembina yang akan membimbing anak-anak kelas 1 SMA. Biasanya dewan ambalan itu anak kelas 2 atau 3 SMA.

Setelah semua tenda selesai didirikan maka aku dan teman berkumpul. Kami berkumpul untuk briefing acara jerit malam.

"Wawan, kamu dan khanif survei lokasi untuk acara jerit malam ya, daerah ini dan ini. Pastikan jalannya aman ya." Kata pak Herman yang merupakan salah satu guru dan juga ketua Pramuka sambil menunjuk denah peta.

"Baik." Jawab khanif.

"Maaf pak, kenapa harus ada acara jerit malam sih, kenapa tidak diganti dengan kegiatan lain?" Kataku. Aku memang agak malas karena saat kelas 1 ikut jerit malam di kaget-kageti dengan pocong jadi jadian.

Pak Herman melihat ku. " Wawan, kegiatan jerit malam ini salah satu cara mengasah mental dan juga keberanian, memang acara ini ada resikonya karena malam, itu sebabnya kamu dan khanif aku suruh untuk memastikan semuanya aman. Lagipula disini ada anggota PMR jadi tenang saja."

Aku hanya bisa mengangguk.

Aku, khanif, dan beberapa teman lainnya lalu pergi ke daerah yang ditunjuk untuk acara jerit malam. 

Daerah untuk kegiatan Persami kami ada di desa terpencil tapi luas.

Aku dan khanif lalu pergi ke sebelah Utara desa untuk meninjau tempatnya. Disana ada beberapa kebon pisang yang luas dan juga sebuah rumah tua yang kosong yang banyak ditumbuhi rerumputan. 

Ketika aku melihat rumah itu saat sore hari entah kenapa perasaanku agak merinding, mungkin karena kena angin sore. Tapi tak ada sesuatu yang aneh atau membahayakan menurut ku.

Malam harinya setelah berbagai kegiatan akhirnya sampai juga dengan acara kegiatan jerit malam.

"Wawan, kamu nanti kamu yang jaga di sebelah Utara di rumah itu ya. Khanif di sawah-sawah dan Agus di kebon." Perintah pak Herman. Rute jerit malam memang melewati tempat yang disebutkan.

Modyar, padahal aku malas kesana karena sepi. Sialnya yang jaga di pos hanya boleh masing-masing satu orang pula, karena tidak banyak dewan ambalan yang ikut.

Jam 11 malam lewat akhirnya aku dan anggota tim lalu menuju tempat yang sudah disebutkan.

Aku sengaja bersembunyi di belakang rumah yang banyak rumpun bambunya dengan bekal senter untuk jaga-jaga.

Sudah setengah jam aku menunggu dengan gelisah karena sendirian. Ya, siapa sih yang ngga takut sendirian di tempat gelap apalagi ini acara pertama ku untuk menakut-nakuti.

Tiba-tiba telinga ku sayup-sayup mendengar suara." Tolong kak, sakit..."

Mendengar suara tersebut, sontak aku berkata." Yang sakit siapa ya? Kalo memang sakit tidak usah memaksakan diri, nanti aku panggil kan PMR."

Tapi ketika aku melihat sekeliling, tak ada apapun, hanya ada kegelapan. Lalu suara siapa tadi?

Sial, aku mulai merinding. Tapi aku balik lagi sembunyi ke rumpun bambu.

Suara minta tolong yang tadinya sayup-sayup kini makin jelas bahkan kini makin dekat.

"Woy, siapa sih yang iseng. Jangan main-main ya dengan ku." Aku berdiri dari tempat duduk karena menyangka itu suara adik kelas atau jangan-jangan Agus atau khanif yang jahil mengerjai ku. 

Tapi seperti tadi, tidak ada siapapun. Aku coba nyalakan senter yang aku bawa untuk melihat siapa yang iseng. Sial, lampunya tidak menyala sehingga keadaan tetap gelap gulita padahal tadi sebelumnya sudah aku coba beberapa kali selalu nyala.

Walaupun merinding aku kembali duduk di batu yang ada di rumpun bambu.

Satu hal yang aku tidak tahu, di desa tersebut ada tradisi menguburkan mayat di sebelah atau belakang rumahnya sendiri, tidak selalu di kuburan umum.

Daannn... Batu yang aku duduki itu sebenarnya adalah BATU NISAN cuma karena ketutup sama rumput ilalang aku jadi tidak tahu.

Suara tangis wanita yang sebelumnya kecil dan jauh tiba-tiba seperti tepat di belakang ku, seakan ada di punggung.

"Kakak, sakit kak. Tolong aku.!!!"

Alamak, aku langsung lemas dan keluar keringat dingin, bulu kuduk langsung berdiri semua. Aku berusaha untuk lari tapi entah kenapa tidak bisa. Apalagi tiba-tiba kepalaku rasanya seperti dipaksa untuk melihat ke belakang.

Badan lemas, kaki lemas, mau teriak ngga bisa, mau nyebut juga ngga bisa. Pokoknya awkward bangetlah sama cewek yang nangis.

Barulah beberapa saat kemudian aku bisa  berteriak. " Aaaaaaaaaa......"

Maksudku adalah berteriak Allahu Akbar, tapi apa daya yang keluar cuma aaaaa.

Ajaib, aku bisa bergerak.

Aku pun langsung kabur ke depan meninggalkan tempat pos jerit malam sialan itu.

Aku lari lumayan jauh. Bedebahnya, sandal yang aku pakai tiba-tiba putus tepat di depan rumah kosong tersebut. Terpaksa aku berhenti sebentar.

Tiba-tiba pintu rumah itu seperti ada yang mengetuk. Anehnya, ketukan nya itu berasal dari sebelah dalam pintu.

Tok... Tok... Tok...

Pintu pun perlahan-lahan terbuka...

Huwaaa... Aku langsung lari terbirit-birit, masa bodoh dengan sandal ku, biarpun sandal tersebut pemberian dari pacarku Widia. 

Akhirnya aku sampai juga dengan selamat di lapangan dengan nafas ngos-ngosan. Masa bodoh lah pos tersebut tidak ada yang jaga, yang penting aku selamat pikir ku.

Hadeh, niat ingin menakut-nakuti malah ditakut-takuti.

TAMAT 

Posting Komentar