Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prahara di Puri Karang Pulosari

 


Herman menurunkan koper yang dibawanya di halaman depan rumah. Sebuah rumah besar berarsitektur zaman Belanda berdiri tegak dihadapannya, warnanya agak kemerahan karena tertimpa sinar matahari senja. Rumah atau lebih tepat disebut Puri itu tidak berubah sedikitpun sejak sebelas tahun lalu ia datangi. Ia takjub melihat bangunan itu yang masih berdiri kokoh. Dahulu ia datang karena keperluan yang sangat penting, sekarang pun tidak kalah penting.

"Mas, kok bengong saja, bantuin aku dong." Sebuah teriakannya membuyarkan lamunannya. Dilihatnya Anita membawa koper kecil berisi pakaian.

"Maaf sayang." Buru-buru ia mendatangi istrinya. Teriakannya ada untungnya juga, mang Kardi, pembantu yang mengurus rumah itu datang dari samping rumah.

"Aduh, nyonya dan tuan sudah datang. Maafkan mamang karena tadi sedang sibuk di dapur sehingga terlambat menyambut kalian berdua." Kata pembantu berusia 60 tahun itu sambil sedikit membungkuk badannya sehingga membuat suami istri itu langsung rikuh.

"Ah, tidak apa-apa kok mang. Mamang lanjutkan saja pekerjaan di dapur." Jawab Herman karena ia tidak enak.

"Iya mang, aku tadi teriak sama mas Herman, bukan sama mang Kardi." Anita ikut menimpali.

Biarpun sudah dilarang tapi asisten rumah tangga itu tetap membawa kedua koper itu. Badannya yang kecil dan kurus kering seakan tak berpengaruh, dua barang berisi pakaian dan perlengkapan selama disini dibawa dengan mudah seperti mengangkat barang ringan saja. Ini membuat Herman agak malu, ia yang usianya baru separuhnya tapi bawa satu saja sudah kepayahan.

"Nyonya dan tuan sebaiknya menengok tuan besar dulu. Biar koper ini mamang bawa ke kamar ya." Tanpa menunggu jawaban memang ia langsung masuk ke bangunan megah kuno sambil membawa kedua kopernya.

Ucapan pembantu itu menyadarkan mereka berdua. Herman masuk ke Puri Karang Pulosari yang megah dan arsitekturnya mirip museum. Coba kalo di kota, pasti masyarakat akan takjub melihatnya. 

Setelah melewati ruang tamu yang luasnya hampir mirip dengan luas rumah mereka di kota akhirnya mereka berdua sampai di depan kamar tuan besar yang merupakan ayah dari Anita atau mertuanya Herman.

"Bapak, apakah bapak baik-baik saja?" Ujar wanita muda itu setelah ia berada di samping tempat tidur dimana seseorang sedang tidur disana. Ah, sebenarnya bukan sedang tidur karena kedua matanya tampak terbuka tapi anehnya ia tidak menyahut, hanya melirik ke kiri dimana Anita berada. Herman yang ada disampingnya hanya memperhatikan sambil hidungnya agak ditahan, sebab begitu masuk kamar itu, entah mengapa ia seperti mencium bau busuk. Suasana tampak remang-remang karena penerangan hanya berasal dari lampu minyak yang diletakkan di dinding, walaupun begitu sudah cukup menerangi seisi kamar. Listrik belum menjangkau tempat terpencil ini.

"Pak, bapak tidak apa-apa?" Katanya terisak. Akhirnya runtuh juga pertahanannya dan air mata perempuan berusia tiga puluh tahun itupun keluar.

Sosok tinggi besar yang ada di ranjang itu hanya diam saja, jangankan menyahut, bersuara pun tidak sehingga menantunya jadi heran. Herman hanya tahu ia mendapat telepon dari mang Kardi dua hari lalu kalo mertuanya sedang sakit keras dan diharapkan datang. Cuma ia tidak menyangka kalo keadaannya sudah seperti ini. Matanya tampak melihat kiri kanan dan nafasnya keluar dari hidungnya, selebihnya ia diam tak bergerak. Beda dengan sebelas tahun lalu ketika ia datang, mertua nya menyambut ramah biarpun percakapan agak kaku.

"Tuan besar jatuh dari kuda lima belas hari lalu dan setelah itu keadaannya jadi begini." Mang Kardi tahu-tahu ada di belakang mereka, sehingga membuat mereka berdua kaget.

"Kenapa mamang tidak memanggil dokter?" Protes wanita itu biarpun suaranya pelan.

"Sudah nyonya, aku sudah membawa beberapa dokter kesini dan mereka angkat tangan. Bahkan katanya..."

"Kata dokter apa mang?" Kata Anita tak sabaran karena orang tua itu sengaja menghentikan bicaranya.

"Kata dokter, tuan besar sebenarnya sudah mati."

Tentu saja mereka berdua kaget. Masa dokter berkata seperti itu. Anita memegang tangan bapaknya, dingin seperti es, tak ada rasa hangat sama sekali. Baru ia sadar kalo hidungnya mencium bau busuk, ingin rasanya ia muntah tapi ditahannya.

Anita tak tahan dan menyingkap selimut yang dipakai bapaknya.

Sebuah jeritan hampir saja keluar dari mulutnya, Herman juga hampir menjerit. Bagaimana tidak, sosok tinggi besar yang terbujur kaku di tempat tidur itu di perutnya tampak beberapa benda kecil yang bergerak hidup, dan itu adalah beberapa ulat atau belatung. Bagaimana mungkin makhluk menjijikkan itu ada disana sementara sosok yang dihinggapinya matanya masih terbuka dan nafasnya masih ada biarpun kembang kempis. Ternyata dari perut itulah bau busuk itu berasal.

Herman sendiri hampir saja muntah, beruntung ia bisa menahannya.

Akhirnya mereka bertiga keluar karena makin lama di kamar tersebut perut makin tak tahan.

Malam sudah turun ketika mereka makan makanan yang dihidangkan mang Kardi. Sebenarnya makanan nya cukup enak cuma karena kejadian barusan suami istri itu makan ala kadarnya saja.

"Mang, kenapa bapak begitu, terus bagaimana caranya mengakhiri penderitaan bapak." Kata Anita setelah selesai makan. Ia memang tidak terlalu dekat dengan bapaknya karena sejak kecil bahkan mungkin bayi ia sudah dipisahkan dengan bapaknya dan diasuh orang lain. Entah kenapa orang tuanya begitu kejam, bahkan saat ibu kandungnya meninggal ia yang saat itu masih kecil tidak tahu. Barulah setelah remaja dan bisa berfikir ia diberi tahu orang tua angkatnya kalo ayahnya sengaja melakukan hal tersebut untuk keselamatan dirinya.

"Ini mungkin karma nyonya, tuan besar sendiri yang bilang kalo ia memang akan mendapatkan musibah. Jadi lima belas hari yang lalu seperti biasa tuan hendak melihat kebun-kebun miliknya dengan naik kuda. Tak disangka di tengah jalan kudanya menjadi liar tak bisa dikendalikan dan tuan besar jatuh ke tanah. Bahkan konon kata penduduk yang membawanya sempat melihat kuda itu menginjak dirinya lalu kabur entah kemana."

"Terus bagaimana baiknya mang, apa sekarang kita bawa ke rumah sakit saja agar bisa dirawat dengan baik." Kata Herman mengusulkan walaupun ia ragu apakah mertuanya itu bisa diselamatkan dengan melihat kondisinya.

"Tidak, tuan besar pernah berkata kalo ia tidak mau ke rumah sakit. Lagi pula rumah sakit sangat jauh dari sini."

Herman membenarkan perkataan pengurus gedung kuno itu. Ia dan istrinya tadi juga agak susah payah kesini. Dari Jakarta ke Pandeglang lalu ke pelosok lagi. Tak ada kendaraan roda empat yang kesini, motor juga sangat susah karena medannya naik dan berkelok-kelok, itulah sebabnya mereka berdua baru sampai menjelang Maghrib padahal berangkat dari pagi.

Sebelas tahun lalu ketika ia hendak menikahi Anita ia memang pernah kesini, selain bersama calon istrinya, ia juga bersama dengan bapak angkatnya Anita. Tuan rumah menyambut hangat dan ikut senang ketika diberi kabar kalo anak kandung nya akan menikah. Walaupun percakapan agak canggung tapi ia senang diterima sebagai mantu.

Tapi mertua nya tidak memberikan harta sepeserpun kepada anaknya untuk mengarungi hidup baru. Biarpun bukan harta yang dicari oleh Herman, tapi agak aneh juga menurutnya apalagi Anita sepertinya tidak terlalu akrab dengan bapaknya.

"Sudah malam tuan dan nyonya, silahkan beristirahat." Perkataan mang Kardi membuyarkan lamunannya.

Mereka lalu masuk ke sebuah kamar yang besarnya cukup untuk membuat rumah kecil di kota. Ada sebuah tempat tidur dari besi yang berbunyi ketika ia naiki. Mungkin sudah lama tidak dikasih minyak. Sebuah jam dinding antik ada di dinding dan tentunya sebuah lampu templok di sebelahnya yang menggunakan bahan bakar minyak kelapa. Asapnya tidak terlalu pekat apalagi ada sebuah jendela di sebelahnya yang kalo dibuka akan disuguhi pemandangan perbukitan saat siang. Listrik memang tidak mencapai tempat ini karena selain hanya ada rumah ini, juga terlalu jauh dari desa terdekat, konon bapak mertuanya sendiri tidak menghendaki. Jangan ditanya dengan sinyal hape, tidak terjamah, hanya di desa sebelum ini ia melihat sinyal, itupun hanya satu dua bar saja dengan jaringan 2G.

"Kira kira berapa lama kita disini mah?" Herman membuka percakapan. Sejujurnya biarpun tempatnya asyik untuk melepas penat bekerja seharian di ibukota, tapi keadaan disini agak menyeramkan.

"Entahlah. Aku tidak tahu, apakah bapak bisa disembuhkan atau tidak. Atau sampai kapan ia akan begini dan meninggal."

Mendengar perkataan istrinya Herman teringat lagi dengan kondisi mertuanya. Wajahnya masih tetap biasa seumuran bapaknya Herman sendiri, Tubuhnya masih tinggi besar seperti dulu, seakan waktu tidak menyentuhnya. Bedanya dulu ia sehat walafiat walaupun konon usianya lebih tua dari mang Kardi, lahir waktu zaman Belanda. Entah apa rahasianya hingga ia bisa awet muda.

Sebenarnya ia ingin pergi dari rumah itu, tapi tak mungkin karena desa terdekat harus di tempuh selama setengah jam dengan berjalan kaki, lagi pula disana tidak ada penginapan apalagi hotel.

"Sebenarnya, apa sih penyebab bapak sakit? Kenapa pula ia bisa sakit seperti itu."

"Entahlah mas, jujur saja aku juga tidak terlalu tahu tentang bapak. Tapi menurut papa, bapak punya pegangan. Pegangan itu yang menjadikan bapak kaya raya tapi katanya juga bisa mendatangkan malapetaka. Entah pegangan apa aku juga tidak tanya terlalu jauh." Anita memang memanggil bapak angkatnya dengan sebutan papa, sesuai panggilannya dari kecil, sedangkan untuk bapak kandungnya ia menyebut bapak, terutama agar ia tidak bingung kalo misalnya mereka bersama, walaupun ia baru dua kali melihat bapak angkatnya bersama dengan bapak kandungnya, pertama saat ia sudah kuliah dan diberi tahu pertama kalinya bahwa ia anak angkat dan minta dipertemukan dengan orang tua kandung, kedua ya saat ia akan menikah dengan Herman.

"Pegangan, apa mungkin seperti jimat begitu?"

"Mungkin juga." Tiba-tiba istrinya berbicara agak pelan padanya." Mas Herman, dengar suara itu tidak?"

Lelaki berusia 30 tahunan itu menajamkan pendengarannya, awalnya ia hanya mendengar suara angin saja yang ada di luar dan tidak mengerti yang dimaksud wanita yang dicintainya tapi perlahan-lahan terdengar suara lain. Bulu kuduknya langsung berdiri.

"Seperti, seperti suara anak kecil."

Anita yang penakut langsung merapatkan badannya ke suaminya bahkan merangkulnya.

"Bapak, bapak, bapak..."

Suara anak kecil yang menangis tiba-tiba terdengar dari luar kamar. Bukan cuma suara tapi juga bunyi langkah kaki juga terdengar, entah anak siapa karena di rumah ini cuma ada mereka berempat. Anak tetangga tak mungkin karena ini daerah terpencil. Kalo tuyul masa menangis, lagi pula entah kenapa tangisan memanggil bapaknya itu terasa menyedihkan hati. Anaknya juga sepertinya bukan satu atau dua tapi banyak sekali. 

Beruntung sepertinya suara itu tidak menuju kamar mereka tapi di sebelahnya dimana mertuanya berada.

" Bapak..bapak..bapak..."

Entah berapa lama suara gerombolan anak-anak itu terdengar karena Herman tak berani melihat jam. Beruntung tak lama kemudian suara-suara misterius itu menghilang dan mereka berdua pun tertidur walaupun tak nyenyak. Siapa pula yang bisa tidur pulas kalo habis menghadapi banyak hal yang aneh, ditempat baru pula.

Esok paginya ketika ia melihat-lihat keadaan sekitar barulah jelas dimana ia berada. Rumah megah tapi kuno itu berada di lereng bukit, tempat yang cocok untuk menikmati pemandangan. Dibawahnya terlihat rumah rumah penduduk desa di kejauhan, sepanjang mata memandang hanya kehijauan pohon teh dari perkebunan milik mertuanya yang nampak. Sebenarnya tempat yang bagus untuk melepas penat pekerjaan sehari-hari, kalo saja tuan rumah nya sehat. Kabut tampak masih ada biarpun sinar matahari sudah muncul, tak heran hawanya dingin.

"Ini kopi tuan, buat menghangatkan badan." Mang Kardi tahu-tahu sudah ada di sampingnya dan menyuguhkan secangkir kopi.

"Makasih banyak mang Kardi." Jawab Agus lalu buru-buru ia bicara ketika melihat orang tua itu hendak pergi." Maaf mang jika aku lancang, tapi sebenarnya apa yang terjadi dengan bapak mertuaku?"

Orang tua itu agak kaget." Maaf tuan, mamang juga bingung."

Melihat asisten rumah tangga bapak mertunya seperti menyembunyikan sesuatu maka laki-laki itu langsung berkata." Mang Kardi, aku ini menantunya. Apa mamang tega melihat ia tersiksa seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mertuaku itu. Aku yakin mamang tahu, kalo sudah tahu mari kita cari bagaimana mengobatinya atau mungkin melepaskan dirinya dari siksa itu."

Orang tua itu menghela nafas." Kau betul tuan. Tak pantas aku menyembunyikan ini karena kamu termasuk keluarga tuan besar juga."

Lalu mang Kardi bercerita bahwa tuan besar dulu adalah orang biasa, bedanya ia pemuda yang penuh semangat untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah air tercinta ini bersama teman-teman seperjuangan. Tapi sayangnya niat itu susah terlaksana karena penjajah memiliki senjata api yang lebih canggih. Satu persatu temannya meninggal, baik terkena peluru, terbaik senjata tajam maupun karena sakit kena penyakit saat mereka bergerilya, hanya tinggal beberapa sahabatnya saja yang masih hidup.

Pada suatu hari ia akhirnya berguru pada orang sakti. Setelah melalui laku tapa yang berat dan hampir merenggut nyawanya akhirnya ia berhasil mendapatkan jimat yang bisa membuat dirinya bukan hanya kebal dari senjata api maupun senjata tajam tapi juga kebal dari penyakit.

Dengan jimat itulah ia menjadi seorang pejuang yang disegani, anak buahnya pun bertambah banyak. Tak lama kemudian Jepang datang dan mengusir penjajah Belanda dan akhirnya negeri ini berhasil merdeka setelah Jepang pun pergi.

"Mertuaku itu hidup sejak zaman Belanda, memang berapa umurnya mang?" Kata Herman tak percaya.

"Mamang sendiri tidak tahu. Yang mamang tahu, saat kecil bapak mertuamu itu seumuran denganmu saat ini. Mamang bertemu dengannya saat ada huru hara pemberontakan G30S PKI."

Konon setelah Indonesia merdeka, tuan besar akan diberikan pangkat atas sumbangsih nya kepada negara, tapi ia menolak karena bukan itu tujuannya. Ia lalu datang ke daerah sini yang waktu itu masih hutan lebat dan setelah bertarung dengan para setan dan jin penunggu tempat ini, akhirnya ia bisa membuat rumah ini.

Waktu pun berlalu sampai terjadi huru hara besar. Kardi kecil yang masih bocah saat itu lari karena orang tuanya dibunuh karena dituduh anggota partai komunis, padahal mereka hanya buruh tani saja. Kardi kecil sebagai anaknya pun tak luput mau dibantai, beruntung ia lari ke hutan dan akhirnya ditemukan oleh tuan besar dan sejak itu mengabdi disini.

"Oh begitu ya mang. Terus kalo boleh tahu kenapa mertuaku begitu, apa sebabnya?"

"Jimat yang dimiliki oleh tuan besar itu memang menjadikan digjaya tapi ada harga mahal yang harus dibayarnya. Setiap ia memiliki anak pasti mati karena diambil oleh khadam penghuni jimat tersebut. Entah sudah berapa anak yang jadi tumbalnya."

"Awalnya tuan besar tidak tahu kenapa anaknya mati satu persatu, setelah bertanya pada orang pintar barulah diketahui penyebabnya. Tuan besar lalu meminta orang pintar itu untuk mencabut jimatnya yang sudah menyatu dengan tubuhnya, tapi sayangnya tidak berhasil bahkan paranormal itu muntah darah dan tidak sanggup meneruskannya. Dukun itu berkata hanya gurunya sendiri yang bisa mencabutnya tapi itu juga tidak mungkin karena gurunya sudah lama mati."

"Akhirnya setelah lama bersemedi, orang pintar itu berkata, hanya ada satu cara agar anakmu hidup. Begitu ia lahir maka ia harus dipisahkan dari orang tuanya dan tidak boleh makan harta sedikitpun dari tuan besar, karena kalo tidak maka iapun akan dijadikan tumbal. Itulah sebabnya begitu Anita lahir, ia langsung dititipkan pada kenalan tuan besar yang paling dipercaya. Tuan besar tak berani memberikan uangnya untuk biaya hidupnya, beruntung temannya itu mengerti bahkan sudah menganggap Anita anaknya sendiri. Itulah satu-satunya cara agar anaknya hidup."

"Jadi begitu ya mang." Sebuah suara terisak terdengar di belakang mereka. Tentu saja Herman dan mang Kardi terkejut karena Anita tahu-tahu sudah ada dibelakang nya. Ia tampak berdiri dengan air mata mengalir.

"Maafkan saya nyonya, mamang tidak bermaksud merahasiakan hal itu tapi ini perintah tuan besar." Orang tua itu langsung membungkuk tapi segera dicegah olehnya.

"Tidak apa-apa mang. Aku sebenarnya juga ingin tahu mengapa bapakku begitu tega membuang ku padahal ia kaya. Ternyata ini semua demi diriku." Katanya sambil berlinang air mata karena lega. Ia memang sejak dulu selalu heran kenapa orang tua kandungnya begitu tega memberikan dirinya pada orang lain, padahal tiap kali bertemu bapaknya selalu riang gembira bahkan sepertinya sangat merindukannya, tapi kenapa ia tidak pernah diminta untuk tinggal disini. Herman sendiri segera memeluknya tapi diurungkan karena ada orang lain disitu.

"Mang Kardi, aku ingin tahu bagaimana baiknya dengan bapakku. Aku sungguh tidak tega melihat penderitaan nya. Ia sepertinya ingin meninggal tapi tidak bisa."

"Memang khodam jimat itulah penyebab kenapa tuan besar tidak mati nyonya, aku sendiri sudah beberapa kali membawa orang pintar kesini untuk mencabut khodam itu darinya agar ia bisa mati dengan tenang tapi selalu gagal. Terlalu kuat kata mereka dan tidak sanggup."

Tentu saja Anita dan suaminya jadi pusing karena tahu harus bagaimana. Membawanya ke rumah sakit untuk disuntik mati juga sangat tidak etis, kalaupun membawa dokter kesini juga dokter pasti tidak mau karena terikat sumpah. Tapi melihat keadaannya yang seperti orang sakaratul maut siapa yang tega.

"Assalamualaikum." Sebuah suara datang dan tahu-tahu di belakang mereka sudah berdiri seorang lelaki tua yang memakai baju warna putih, sama seperti rambutnya, sikapnya berwibawa. Disebelahnya ada seorang pemuda berusia 20an yang sepertinya mengiringinya.

"Waalaikumsalam pak." Jawab Anita lalu datang menghampiri. Ia sendiri entah mengapa merasa orang tua itu datang bukan karena kebetulan tapi ada sangkut pautnya dengan keadaan disini, biarpun itu hanya firasatnya saja. Wanita muda itu lalu meminta tamunya untuk duduk, sementara mang Kardi sepertinya agak berpikir.

"Kardi, kenapa kau tidak mengenalku." Kata bapak tua itu terkekeh. Asisten rumah tangga itu tampak terkejut.

"Kamu, kamu ajengan Sayuti dari Menes sana kan." Katanya setengah tidak yakin.

"Alhamdulillah, masih ada yang mengenali tubuh reot ini."

"Alhamdulillah, sungguh kedatangan ajengan sangat kami nantikan. Ajengan harap segera menolong tuan besar." Kata pembantu itu sambil bersimpuh ke kakinya. Tentu saja orang tua itu terkejut lalu buru-buru membangunkan mang Kardi.

"Bangunlah Kardi. Aku memang datang kesini untuk menolong teman seperjuangan ku dulu, bukan untuk melihat kamu. Sudah kamu tenang saja." Katanya sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Ternyata orang tua itu adalah orang pintar yang dulu menjadi teman seperjuangan pemilik Puri tersebut. Setelah kemerdekaan mereka menempuh jalan masing-masing, Sayuti mengasuh sebuah pondok pesantren sedangkan Handoko ke daerah sini. Mereka kadang sekali dua kali bertemu.

"Seminggu yang lalu Handoko datang padaku saat sedang bertirakat. Ia mengatakan kalo waktunya sudah datang. Aku sendiri tahu apa maksudnya tapi juga bingung bagaimana nanti caranya mencabut khodam itu dari tubuhnya. Alhamdulillah ternyata ada keturunan Handoko yang masih hidup sehingga aku bisa menolong seorang sahabat yang sudah ku anggap saudaraku sendiri."  Ajengan Sayuti memberi penjelasan. Handoko adalah bapak kandung Anita yang menjadi pemilik tempat ini.

"Bagaimana caranya Ajengan?"

"Kau harus mengorbankan darahmu anakku."

"Apa!" Tentu saja Herman terkejut bukan main." Tak mungkin ku korbankan istriku pak kyai."

Anita sendiri begitu mendengar penjelasannya jadi merinding juga.

Ajengan Sayuti tertawa kecil." Aku hanya minta beberapa tetes darahmu saja nak, bukan meminta semuanya."

Oh, tentu saja wanita itu tidak keberatan. Herman sendiri jadi malu karena terlalu cepat buruk sangka.

"Basrun, tolong minta air putih dan keperluan lain yang tadi aku minta pada pak Kardi ya." Perintahnya pada pemuda yang mengiringinya. Pemuda itu mengangguk tapi mang Kardi langsung masuk kedalam menyiapkan semua yang diminta oleh orang tua itu.

Sambil masuk ke dalam, orang tua berpakaian dan bersorban putih itu bercerita." Dulu waktu masih muda padahal aku pernah berkata pada bapakmu bahwa berbahaya memelihara azimat seperti itu, selain bisa menyeret kita kepada kesyirikan juga bisa menyusahkan diri sendiri. Tapi bapakmu dulu keras kepala, ia bersikeras untuk melawan penjajah Belanda boleh menggunakan cara apa saja."

"Maaf pak kyai, kalo boleh tahu berapa umur mertua saya ya? Soalnya aku lihat beliau tidak beda jauh dengan bapakku." Kata Herman yang memang penasaran.

"Aku sendiri kurang tahu berapa umurnya, tapi yang jelas saat Jepang datang umurnya hampir 25 tahun atau mungkin lebih, maklum jaman dahulu tidak ada akta kelahiran dan juga tak terlalu diperhatikan."

"Hah, berarti mungkin sekitar 100 tahun ya." Kata Herman terkejut bukan main.

"Mungkin juga lebih. Mertuamu itu kelihatan awet muda karena jimat yang memasukinya, selain itu ia juga jadi kebal. Tapi jimat itu juga memakan korban yang tidak sedikit. Semua anaknya jadi korban, istri pertamanya sampai stres dan akhirnya meninggal. Ia kawin lagi kedua dan ketiga, tapi tetap tak berubah. Anak-anaknya tetap tak tertolong, ada yang mati saat umur satu tahun, ada yang lima tahun atau lebih, ada yang baru lahir bahkan juga baru istrinya mengandung kena makan oleh khodam penghuninya."

"Kalo boleh tahu, ibuku istri yang keberapa dan meninggal apakah karena khodam itu atau bukan pak kyai?" Kata Anita penasaran.

Ajengan Sayuti terseyum." Aku kurang tahu kalo soal itu, bisa tanya Kardi nanti kalo sudah selesai. Yang jelas Handoko memang banyak kawin cerai. Ada yang di ceraikan olehnya, ada juga yang minta cerai karena takut, yang meninggal wajar juga ada."

Suami istri itu hanya mengangguk angguk saja mendengar penjelasannya.

"Kenapa kamu di luar Basrun?" Tanya Ajengan itu ketika melihat muridnya di depan pintu padahal ia menyuruhnya masuk.

"Maaf kyai, aku tidak bisa." Katanya dengan suara gemetar, mukanya juga pucat, jelas ia ketakutan.

Tentu saja Ajengan Sayuti, Herman dan Anita jadi penasaran. Herman yang ingin tahu segera masuk ke dalam pintu yang tertutup itu, tapi begitu terbuka iapun ikut terkejut.

"Bapak, bapak, bapak...." Suara puluhan anak kecil yang berteriak langsung terdengar, semuanya tertuju pada sosok yang ada di tengah ranjang yang tetap diam tak bergerak, hanya matanya saja yang tampak melotot. Bau busuk segera menyergap hidung lelaki itu sehingga ia hampir muntah, baunya lebih parah dari semalam.

Herman sendiri tidak bisa mendekat karena terhalang oleh puluhan anak itu, ada yang berusia lima tahun, empat tahun, bahkan ada juga yang masih merangkak, semuanya ada di samping Handoko. Melihatnya saja ia jadi ngeri, bagaimana mungkin siang hari begini ada penampakan anak kecil, biarpun memang kamar itu tetap remang-remang karena jendela tertutup rapat, hanya lampu minyak yang menerangi.

"Cepat sediakan air putih dalam baskom ya nak Herman." Pinta orang tua itu.

"Aku, aku..." Lidahnya terasa kelu, sebenarnya Herman ingin menjawab tapi entah kenapa susah.

Orang tua itu maklum, ia segera menepuk pundaknya sehingga pria itu jadi hilang rasa takutnya. Segera ia keluar untuk mengambil barang yang diminta.

"Nak Anita, tolong buka jendela itu. Ruangan ini harus terang agar lebih mudah mengobati bapakmu."

Wanita itu segera mengangguk. Ia segera hendak ke jendela tapi belum sempat kesana puluhan anak kecil itu bergerak.

"Mbak, mbak, mbak..."

"Kakak... Kakak... Kakak..."

Tentu saja Anita menjerit dan ngeri karena puluhan hantu anak itu tahu-tahu sudah mengerubutinya. Ia berusaha kabur tapi sayangnya tidak ada jalan.

"Bacalah ayat ayat Alquran nak." Ujar Ajengan lembut. Wanita itu segera menurut dan membaca doa ayat kursi, tapi entah kenapa tetap tidak mempan bahkan beberapa roh tersebut mulai mencengkeram kakinya maupun pakaiannya sehingga ia makin menjerit, mungkin karena hatinya masih takut. 

"Pergilah kalian." Bentak kyai sepuh itu. Ajaib, para roh anak kecil itu seperti menurut, mereka langsung melepaskannya tapi tidak pergi, melainkan pindah berkerumun di samping ranjang.

"Sekarang, lekas buka jendela itu."

Anita masih diam mematung.

"Sekarang!!!" Bentaknya. Suaranya yang keras membawa pengaruh, wanita muda itu langsung beranjak dan membuka jendelanya. Agak keras, mungkin karena lama tidak dibuka karena banyak debu tapi setelah mengerahkan seluruh tenaga akhirnya terbuka juga.

Hawa segar pegunungan dan udara sejuk segera masuk, mengusir bau busuk dan juga bau tak enak yang ada di kamar tersebut. Pengaruh lainnya langsung terlihat, para roh anak kecil itu semuanya langsung menghilang, hanya tinggal sosok tubuh di tempat tidur saja, yang matanya makin liar bergerak kesana-kemari, tapi tubuhnya tetap diam.

"Nak Herman, apa kau bawa yang aku minta?"

"Ini pak kyai." Sahut laki-laki itu sambil menyerahkan sebuah baskom berisi air putih.

Ajengan Sayuti lalu mengeluarkan sebuah kujang yang tampak berkilauan, mungkin terbuat dari emas. Ia lalu membaca doa di depan baskom itu lantas meniupnya." Sekarang nak Nita, kemarikan jari telunjuk mu."

Walaupun tidak mengerti tapi perempuan muda itu menurut saja. Saat ia mengacungkan jari telunjuk nya, kujang emas itu langsung menggores kulitnya, tidak dalam tapi darah yang keluar cukup banyak dan masuk kedalam baksom.

"Sekarang, minumkah air ini ke bapakmu." Perintahnya lagi. 

Herman yang sibuk membalut luka istrinya terkejut." Biar aku saja pak kyai."

Orang tua itu menggeleng." Harus anak keturunannya langsung yang meminumkannya."

Terpaksa Anita maju lalu membawa baskom kecil. Handoko yang sebelumnya matanya agak liar kini melotot kearahnya, seakan-akan mengancam padanya, kalo berani menyentuhnya akan memakannya hidup-hidup. Pandangannya jelas menciut nyali wanita itu.

"Ia tidak akan bisa melukaimu nak. Ayo Herman bantu istrimu dengan membukakan mulut mertuamu itu."

Perintah Ajengan itu segera dilakukan olehnya. Herman segera menuju samping mertuanya dan setelah permisi pada bapak mertuanya secara perlahan-lahan membuka mulutnya. Tapi baru mulutnya membuka sedikit beberapa benda putih kecil bergerak-gerak keluar dari mulutnya, bau nya jangan ditanya lagi.

"Lekas segera minumkan nak Nita." Perintah orang tua itu tegas dan keras.

Dengan tangan gemetar akhirnya Anita berhasil juga meminumkan air putih bercampur darahnya sendiri ke mulut bapaknya, beberapa ulat putih yang bergerak itupun tertelan kedalam perutnya. Perlahan-lahan matanya yang bergerak liar meredup dan akhirnya diam tak bergerak. Berbanding terbalik dengan matanya yang sepertinya mengancam, mulut Handoko yang sebelumnya kaku kini tampak seulas senyum, wajahnya tampak tenang.

"Alhamdulillah ya Allah, terima kasih atas pertolongan Mu." Ajengan Sayuti mengucapkan syukur.

Pasangan suami istri itu pun tidak kalah bersyukur.

Orang tua itu lalu mengajak mereka berdua keluar ruangan." Alhamdulillah bapakmu kini sudah tenang nak Nita, semoga ia diterima disisi Allah SWT."

Anita dan Herman sama-sama mengucap Amin.

"Jin penunggu khodam itu sangat kuat. Ia lah yang menggerakkan roh anak-anak itu agar niatmu tidak terlaksana. Bapakmu sudah lama mati, tapi rohnya masih dikuasai oleh makhluk gaib itu makanya ia tidak meninggal. Setan itu yang mengendalikan bapakmu sejak ia jatuh. Kini Handoko sudah bisa tenang karena terbebas dari jin jahat itu."

Anita tentu saja makin terkejut mendengar keterangan dari Ajengan Sayuti, begitu juga Herman. Tak lupa mereka kembali mengucapkan banyak terima kasih.

Orang tua itu menggelengkan kepalanya." Sudah tugasku menolong sahabatku biarpun dulu kami sempat berbeda jalan. Ini terimalah kujang emas ini."

Perempuan muda itu jadi terkejut. Tentu saja ia menolaknya.

"Ambillah, firasat ku mengatakan kamu membutuhkan senjata ini." Kata orang tua itu lagi. Terpaksa Anita setuju dan mengucapkan terima kasih. Setelah basa basi sebentar Ajengan Sayuti lalu untuk diri, tak lupa ia minta maaf karena tidak bisa menghadiri pemakaman sahabat baiknya itu.

Herman dan Anita lalu mengantar Ajengan Sayuti dan muridnya pulang. Di luar matahari bersinar terang seakan ikut bergembira dengan selesainya prahara di Puri Karang Pulosari.


Agus Warteg
Agus Warteg Hanya seorang blogger biasa

97 komentar untuk "Prahara di Puri Karang Pulosari"

  1. Duuuh yg ini lumayan serem mas Agus :(. Mana aku bacanya malam . Tapi ceritanya enak dibaca dan bikin betah utk dibaca sampe abis :).

    JD kujangnya dikasih ke mereka yaaa. Berarti bakal ada part 2 nih kayaknya ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sengaja memang update nya malam hari jam 9 biar bacanya makin syahdu mbak Fanny.😱

      Alhamdulillah kalo enak dibaca, ini berkat guru saya mbul Nita yang ngasih ide, saya cuma nulis doang, ntar aku tanya apakah ada part 2 ngga, mudah-mudahan ada ya.😄

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Kayaknya sih naskahnya bukan mau dikasih ke Joko Anwar tapi ke Lord KK Dheeraj.😂

      Hapus
    4. wakakakakka...bisa gaswat kalau dilemparkan naskahnya ke rumah produksi yang #teeeeet !!

      🤣

      Hapus
    5. Rang orang hobi banget baca cerita horor di tengah malam dini hari, hahaaha. Aku bacanya ini juga malam, sih. Tapi ga terlalu malam. Waktu sekarang baru menjelang waktu isya, sih 😅😅

      Hapus
    6. Memang rumah produksi lord KK Dheeraj ngga beken ya, padahal filmnya hit hit lho, seperti rintihan kuntilanak perawan atau pocong mandi goyang pinggul.😱😂😂😂

      Hapus
    7. Oh makanya mas Dodo baca awalnya Maghrib, nanti lanjutan nya tengah malam ya mas.😄

      Hapus
    8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sengaja yang panjang karena mbul kan suka yang panjang.😁

      Eh maksudnya biar detil gitu, bisa saja sih di ringkas. Herman dan Nita pulang kampung ke Puri karena bapaknya sakit. Setelah sampai disana ternyata bapaknya lagi sekarat. Besok paginya bapaknya sudah meninggal dan Nita nangis tersedu-sedu, TAMAT.😄

      Habis perih kan tangannya di bungkus kain sama Herman, perihnya jadi kurang dong.

      Ceritanya memang rumahnya besar kayak Puri atau kastil gitu, soalnya di gunung dan juga babat alas habis ngalahin penunggu tempat itu, berkat bantuan penulisnya akhirnya menang.😄

      Ajengan itu bahasa Sunda mbul, coba tanya mas Herman.

      Oh berarti cerpen aku sebelumnya jelek jelek ya.😂😂😂

      #ngambekkecualidikasihkuota

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Tadinya rencananya mau dibikin 2 episode atau bahkan 3 episode, tiap episode 1500-2000 kata saja, tapi lihat kang satria bikin cerpen panjaaaaanggggggg juga masih bersambung akhirnya dijadikan satu saja. Biarin dah, yang bosan juga tidak apa-apa.😄

      Oh mbul sukanya setting yang macam rumah tua dan angker gitu ya, berasa kayak film Suzanna ya. Kalo aku sukanya duit.😂

      Di Banten sudah lama tapi masih belum bisa ngomong Banten apalagi kebal kayak jawara Banten.😩

      Hapus
    4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    5. Iyah, ini lagi nulis makanya dari kemarin tidak balas komentar. 😀

      Tapi sayangnya kadang hapenya dipakai anak atau istri jadinya gantian, mungkin tahun depan baru selesai.🤣

      Hapus
    6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  3. Wkwk ngakak abis.. pas baca bagian hantu2 kecil itu memanggil2 wanita pembuka jendela dgn sebutan "mbak2", "kakak2", hihi jarang2 soalnya ada hantu begitu yg kenal sama kakanya, hihi.

    Dan juga ini sesuatu banget, minyak kelapa ya? bisa buat jadi bahan bakar lampu templok, selama ini saya taunya cuma minyak tanah yg bs buat lampu tembok. 😅

    Keren ceritanya mengalir indah seperti air terjun, nikmat disantap kata perkata, good job 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harusnya panggilnya jangan mbak atau kakak tapi adek atau dedek ya, soalnya umur mereka lebih tua biarpun mati muda. Penulisnya ngga bener itu harus di demo.😂

      Minyak kelapa selain buat masak, bisa juga buat minyak lampu dan juga buat malam Jumat.🤣

      Alhamdulillah kalo jalan ceritanya lancar, ini semua berkat bimbingan guru Ajaey, sungkem suhu.😃

      Hapus
    2. Oh iya seharusnya adik ya, tapi udh pas kok disebut kakak, soalnya fisik hantunya masih balita, hihi.

      Ini menimbulkan pertanyaan baru ini, apa yg dimaksud dgn minyak buat malam jumat 😅

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. Anita di panggil kakak ada dua kemungkinan, Anita itu anak dari istri pertama yang dapat anak atau memang Anita itu anak yang paling tua tapi aneh juga kalau seperti itu kenapa adik-adiknya ngga diselamatkan seperti Anita?

      Kalau jaman pendekar pakainya minyak jarak kalau sekarang minyak kelapa, minyak goreng juga bisa buat bahan bakar lampu templok.

      Hapus
    5. Entahlah itu minyak buat malam Jumat maksudnya apa, boleh tanya mbul atau mas Herman yang lebih berpengalaman.🤣

      Hapus
    6. Senthir itu kalo ngga salah obor gitu kan, apa kayak lampu templok juga, 🤔

      Sebenarnya minyak kelapa buat lampu templok itu asal saja sih, kalo yang aku tahu minyak kelapa itu enaknya buat ngurut, entah ngurut apa.😄😁

      Hapus
    7. Ceritanya Anita bukan anak dari istri pertama tapi yang kesekian, istri pertama sudah meninggal. Entah Anita anak pertama atau kesekian kurang tahu juga, nanti aku tanyakan pada yang bikin ide.😂

      Hapus
    8. Wah masih jadi misteri si Anita itu anak yang pertama atau anak yang ke sekian, lanjut tunggu sambungannya.

      senthir itu sinonim dari lampu tempel ya, mbak?

      Hapus
    9. Tunggu saja lanjutannya, siapa tahu dia anak pertama sekaligus terakhir.😂

      Hapus
    10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    11. Wah ngga kenal lagunya Sherina, kenalnya malah petualangan Sherina itu tapi belum nonton filmnya sih hihihi..

      Hapus
  4. Balasan
    1. Bukan, ini cerita pendek tapi panjang mbak.😄

      Hapus
  5. cerita sedih, cerita haru, cerita bahagia, semua bercampur di cerita ini mas, menurutku ini beda dari cerpen mas agus yang biasanya, serius banget sampai gak ada part becandanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Ooh ceritanya puri bangunan Belanda itu rumah mertuanya Herman yang beristrikan Pratiwi..😁😁 Meski rumah mertuanya itu daerahnya cukup Extrem akhirnya Herman dan Pratiwi sampai juga dirumah yang berbentuk Puri itu...Dan bertemu dengan mertuanya yang katanya sedang sakit karena kecapean main kuda2an sama sih anu, Sehingga ia kelelahan.😆😆😆🤣 ...Eeh salah Yaa, Sorry jatuh dari kuda maksudnya.🤣 🤣 Meski sudah ditangani dokter spesialis tapi nggak sembuh juga dokterpun menyerah...Mungkin yang dipanggil mang Kardi bukan dokter kali tapi dukun beranak makanya pada nggak sanggup nyembuhin mertua Herman..🤣 🤣 🤣

      Dan karena mertua Herman sejak sakit nggak pernah mandi sampai dikerubutin belantung akhirnya Herman dan Pratiwi tak tahan dengan semua itu iapun lari keluar dari kamar mertuanya...Sampai pada malam menjelang karena tak ada sinyal didaerah tersebut, Terlebih listrik...Akhirnya I-phone 15 seri terbaru milik Hermanpun serasa tak berguna, Iapun memilih bermesaraan dengan istrinya..Namun kala Herman baru memegang tangan istrinya tiba2 ia dikagetkan oleh suara2 ribuan anak kecil yang entah datangnya dari mana padahal disitu tidak ada taman bermain anak, Atau tempat penitipan anak.🤣 🤣 🤣 Hingga akhirnya Herman pun tahu bahwa dulu sejak zaman VOC mertuanya mempunyai banyak segudang ilmu diantaranya ilmu 'Lebur Seketi' , Sampai akhirnya Herman dan mang Kardi mendapat bantuan dari orang pintar yang bernama Sinto gendeng...Eeh salah Ajengan Sayuti.🤣 🤣 🤣 Akhirnya mertua Herman yang bernama Hans bisa diobati...Eehh salagi, Handoko maksud gw, Hans mah orang yang ketawan selingkuh sama bininya..🤣 🤣 🤣 🤣

      Akhirnya pengobatan itupun dilakukan dan penuh drama yang menegangkan, Karena banyak hantu2 yang berteriak2, Kaaakkaaa! mbaakk!! Boleeh Kaka dipilih2...Mungkin dulu tuh setan mantan SPG mall kali yee..🤣 🤣 🤣 🤣 Dan dengan meminumkan air putih bercampur darah kemulut Handoko, Akhirnya mertua herman bisa mati dengan tenang.

      Eyang Ajengan Sayutipun mewariskan kapak naga geni 212 kepada Pratiwi...Eh salah lagi bukan kapak tapi kujang emas..😆😆 Dan sejak saat itu Pratiwi mengganti nama dengan bergelar 'Dewi Kujang Emas', Iapun akhirnya menguasai wilayah Pandeglang Banten dan sekitarnya.😁😁😁

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. 🙄🙄🙄🙄🙄🙄🙄🙄🙄

      Hapus
    5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    6. Wah tumben mas khanif komennya beda dari biasanya, apa habis salah makan ya.😄

      Hapus
    7. Wah tumben amat kang satria komen panjang lebar kayak habis salah makan, ntar aku cek dulu siapa yang lebih banyak katanya dari mbul Nita.

      ....

      5 menit kemudian

      Setelah aku cek ternyata juaranya adalah...

      Kang satria, ada 333 kata, sedangkan mbul 320 kata, beda dikit.

      Untuk hadiah pulsa silahkan ke konter terdekat ya 😁

      Hapus
    8. Nah lho, produser mbul Nita yang nentuin sebagai pemegang proyek, sutradara mah manut saja mau pakai nama yang mana.😄

      Hapus
    9. Nah sinetronnya dihentikan KPI karena bawa syuting anak 15 tahun 😅

      Hapus
    10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    11. Genrenya RR seharus yang diajak syuting usianya seabad ke atas biar ngga dihentikan KPI ya, kang..hihihi

      Hapus
    12. Genre RR itu genre apa mas, apa genre rongdo romantis? 🤔

      Hapus
    13. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    14. Genre Remang Remang, mas.. hahaha

      Hapus
    15. Tenang saja, cerpen selanjutnya akan ada adegan remang-remang hahaha..😱😂

      Hapus
  6. Terasa di mwb..hihihi

    Oh, Pulosari Pandeglang kirain Pulosari yang di Pemalang, berarti ini settingnya di gunung Pulosari yang konon katanya gunung keramat kerajaan Sunda.

    "Makasih banyak mang Kardi." Jawab Agus? Jangan-jangan konsep awalnya namanya Agus nih bukan Herman..hihihi

    Setelah Anita dikasih kujang sepertinya cerita ini bakal ada kelanjutannya sesuai firasat kyai Sayuti yang merasakan kalau Anita membutuhkan kujang tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh, emang dulu pernah nulis cerpen yang seperti ini ya mas, kok aku sudah lupa.😂

      Iya memang settingnya di daerah Sunda, makanya ada Ajengan juga mas, kalo di Pulosari Pemalang paling manggilnya Mbah Dahlan , dukun ajaib pengusir ringtone kuntilanak.🤣

      Busyet dah, mas Herman memang detil banget, sepertinya salah tulis itu nama Agus yang nyempil. Agus nya nanti akan keluar tapi di ... (Rahasia dong)

      Sepertinya mas Herman ada chemistry sama mbak Fanny, bisa tahu bakal ada kelanjutannya, rencananya sih gitu tapi belum meraba bagaimana selanjutnya, bolehlah kasih ide, asal jangan ide mangkal di lampu merah saja.😂

      Hapus
    2. Saya kasi ide ya 😅

      Setelah mertuanya meninggal Herman membangun villa disana dan buka restoran wedang ronde.

      Terus Hans Castilo syuting di villa itu bersama Anjani 😅

      Hapus
    3. Entahlah dulu udah pernah nulis apa belum tapi cerpen yang seperti ini yang jadi ciri khas waktu di mwb.

      Dukun ajaib pengusir ringtone kuntilanak bisa tuh nanti dimasukkan ke sambungannya biar kolaborasi sama kesaktian kujang.. Hahaha

      Oh si Agus bakalan nongol, mungkin di part 3 atau 4 kali ya?

      Tuh kang Jaey udah ngasih ide yang brilian..hihihi

      Hapus
    4. Sepertinya yang ini belum ditulis, tapi entahlah aku juga sudah lupa, mantan memang sebaiknya dilupakan.😂

      Mungkin juga Agus nongol di part 2, tapi jadi tukang parkir atau tukang becak lewat nganterin tokoh utama.😁

      Ide jaey bagus, bahkan sudah ditulis tuh di cerpennya.😄

      Hapus
    5. Kalau di part 2 kecepatan, biar agak slow di part 3 atau 4 aja.. hahaha

      Hapus
  7. merinding.. sampe berasa dipelototin bapaknya Anita..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa sih mbak, apa karena lihat penampakan ya.😱

      Hapus
    2. wkwkwk enggak kok.. cuma langsung kebayang aja bentukan2nya..

      Hapus
  8. Mas Agus ya ampunn.. 😱😱 aku smpe nggak bisa ngomong apa2.. aku baca pas magrib abis solat. Seremm banget Mas.. nyaliku langsung ciut...
    Duhh Ya ampunn. Suka bnget sama ceritanya, tapi juga seramm 😱
    Entah malamku bakal aman nggk ya.. wkwk

    Yakin deh ini kalau dibuat film makin serem aja. Ngebayangin belatung yg ada di Bapaknya..

    Terimakasih ya Mas buat tulisannya.... ngeri2 sedapp

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh ngeri ya, apa ngga usah bikin lanjutannya, atau mungkin kadar kolesterol eh horornya dikurangi kali ya.😱

      Makasih apresiasinya mas Bayu.😀

      Hapus
    2. Ehhh jangan dong Mas.. aku tunggu kelanjutannya dengan sangat 😆😆😬
      Dibikin lebih gore lagi malah nambah sneng aku.. 😂 hahaha.

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. Iya, insya Allah nanti lanjutin tapi setelah nulis tutorial android dulu, soalnya belum ada ide mau bagaimana jalan ceritanya, apakah ada mbak kunti ikutan juga.😁

      Hapus
  9. first komenku, aku langsung baca komen temen temen kenapa pada bilang lebih serem ya wkwkwkwk.
    ini masih ga terlalu malam, baca besok apa sekarang ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah masa serem sih mbak Ainun, apa lebih serem ketemu mantan jalan bareng sama pacarnya.😱

      Hapus
    2. Hahahhaa.. kalau ini mah nggk serem. Tapi dongkol Mas Agus 😝.. hawanya pengen ngelabrak aja.. 😅😅😆 ngajak tawuran gitu. 😂
      Ntar dekingan saya, tak ngajak Mas Satria yg udah pro sama beginian... wkwk 😅

      Hapus
    3. Kok mas Bayu tahu, apakah sudah pengalaman yang begituan mas.😂

      Hapus
  10. owhhhh jadi begitu toh asal usul anita, untung nggak terlalu serem hehehe
    aku ngebayangin lokasi rumahnya yang juauhhhh di pelosok desa, kok ya masih ada gitu rumah gede zaman belanda dulu dan masih di tinggali pula
    plus jauh dari tetangga tetangga.
    kalau orang sekarang mungkin pilih pindah rumah mungkin ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya juga cerpen mbak, kalo orang normal ya memang sudah kabur tinggal di rumah angker, kecuali dukun atau youtuber yang lagi bikin konten.🤣

      Hapus
  11. Dilihat dari judulnya sudah ditebak ada nuansa mistisnya. Ada bumbu komedi dan romantisme juga. Sepertinya pembaca blog mas Agus sudah tersegmentasi, terutama penyuka cerpen dengan tema nyeleneh dan dekat dengan keseharian hehe.. Sukses selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang sepertinya pembaca blog ini kebanyakan yang suka cerpen. Untunglah ngga ada yang suka duit, soalnya kalo disuruh bagi-bagi duit ya ngga mampu.😂

      Hapus
  12. Aku belum selesai bacaaa,..
    tapi blm apa2 sudah🏃🏃 kabur karena serem, brasa ada hantu😱😱

    Nanti balik lagi iyaaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa sih mbak Ike, terus yang ada anak kecil di belakangnya siapa tuh.😱😱😱

      Hapus
    2. Nah itu juga diatas plafon siapa itu ada yg nempel 😅

      Hapus
  13. Bacsnya belum tuntas. belum bisa komen he he. ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak apa-apa Bu haji, soalnya memang panjang.😀

      Hapus
  14. Mas Agus, ini ceritanya bagus banget, Mas 😆. Kayaknya udah layak lah kalau difilmkan. Dan sepertinya bakal seru film nya jadinya. 😆

    Ini memang cerita horor, sih. Tapi aku gak merasa serem sama sekali. Melainkan malah merasa heart warming. Ternyata bapak bukannya tega membuang Anita, melainkan memang demi keselamatan Anita. 😌

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terus siapa sutradara nya, mbak Roem kah? 😱

      Iya betul mbak, lebih horor ketemu mantan ngasih surat undangan pernikahan ya.😂

      Hapus
    2. Malah ajur, Mas, kalau sutradara nya aku. 🤣🤣🤣

      Eh, pengalaman ya, Mas Agus? Pernah dapat undangan nikahan mantan.🙈

      *Kaboooooor 🏃🏃🏃

      Hapus
    3. Lho, kirain aku itu mbak Roem yang dapat undangan.😂

      Hapus
  15. seram tapi seru .....
    dan asik bacanya....

    Ditunggu kelanjutannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kang tanza, semoga menghibur, untuk lanjutannya belum dibikin. Rencananya sih mau bikin lanjutannya tapi belum ada pikiran jalan ceritanya mau gimana

      Hapus
  16. Seandainya ada dongeng yang tidak jadi tumbal karena harus dipisahkan dari orang tua kandung dan tidak makan dari hasil harta orang tua kandung, wadidaw, mantap. Coba Kak bikin dongen gitu.

    Soalnya, selama ini kan ada dongeng yang anaknya dibawa kabur saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wadaw kalau itu harus tanya guru saya gimana jalan ceritanya, soalnya kalo aku sendiri ngga bisa.

      Hapus
    2. Hehe... Bikin Kak, siapa tau jadi dongeng baru di masa depan.

      Kak, tapi ini beneran keren lho. Kok bisa sih kepikiran bikin cerita kayak gini?

      Bapak sudah lama mati, eh tapi hidup. Eh ternyata, bawa pegangan alias jimat dan begitu ketauan, baru deh semua ketemu endingnya. *mau spoiler di sini nggak enak.

      Hapus
    3. Ngga apa-apa spoiler, disini mah bebas, yang penting ngga saru aja.😄

      Hapus
  17. aku agak mual bacanya mas agus.. kebayang2 belatung sama darah..
    ampunn ini serem banget sih ceritanya.. semua gara2 jimat yaa.. huhu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo mak dirimu jangan mau kalah, bikin cerpen juga yang lebih seram dari mas agus wkwkwkkw

      Hapus
    2. Lha, emang mbak thya pernah bikin cerpen ya? 🤔

      Hapus
  18. Baca ginian pas sore hari. Jadi kurang seremnya :(
    Ceritanya bagus mas agus. Pake plot kearifan lokal, yaitu jimat atau pegangan yang biasa digunakan orang-orang dulu.

    Oyaa, aku tahu daerah pandeglang, dan daerah menes mas agus :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya mas Rivai pernah ke Pandeglang dan Menes nih makanya tahu daerah itu.😃

      Hapus
    2. ibuku orang pandeglang mas. Ada saudara yang tinggal di menes juga. Jadi sedikit tahulah..hahhahaa

      Hapus
    3. Oh pantesan, pasti kadang main ke Menes atau sekalian ke daerah Panimbang kali ya mas.😄

      Hapus
  19. Walah, Kak Agus, cerpen kali ini keren banget! Seru + ketegangannya berasa banget, aku sampai hanyut ke dalam ceritanya. Keren sekali, good job Kak Agus 👏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh benarkah mbak Lia, jadi semangat nih bikin cerpen.😃

      Hapus
  20. hiiii... jadi merinding gini, padahal aku bacanya pagi2... ruangan kerjaku lg sepi sih nih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah masa sih, harusnya bacanya tengah malam jam 11 malam kang biar lebih syahdu.😱

      Hapus
  21. Dari judulnya ada udah kelihatan nih cerita bakalan horor wkwkwkwk..Ada 'prahara' segala, biasany prahara rumah tangga :D Kalau dibikin sinetron kayaknya seru nih. Cocok dibaca tengah malam, sendirian, pake lampu syahdu hiiiiy ngibrit langsung deh ke luar rumah mencari pertolongan hahaha :D

    BalasHapus