Teror tokek raksasa
Aku merebahkan tubuhku di ranjang. Rasanya enak sekali, maklum perjalanan dari kota ke desa tempat tinggal Mira temanku memang jauh. Dari Jakarta ke Rangkas Bitung memang hanya dua jam, tapi dari Rangkas menuju rumahnya di daerah Sadang, Garung makan waktu dua jam lagi, mana jalannya jelek dan banyak lubangnya. Untungnya kendaraan roda empat yang kami tumpangi cukup sigap sehingga tidak pernah terantuk ke lobang yang katanya tiap musim hujan mirip kubangan kerbau.
Akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan setelah pinggang ku hampir patah karena jalanan yang jelek, Mira sendiri hanya senyum-senyum melihat keadaan ku. Kami sampai jam 5 sore lewat tapi suasana sudah agak gelap.
Kulihat rumah di depanku, hanya rumah panggung sederhana khas pedesaan di daerah Sunda.
Rumahnya Mira terletak di daerah dataran tinggi sehingga kiri kanan banyak pepohonan sehingga hawanya sejuk, beda jauh dengan tempat kost kami di kebun jeruk Jakarta yang gersang, kalo malam jangan ditanya panasnya nauzubillah setan, rumah tetangga cukup jauh.
"Ayo masuk nak Nita." Kata Bu Heni, ibunya Mira dengan ramah. Keramahannya langsung menghilangkan penat yang ada di tubuhku. Begitu juga pak Herman, suaminya. Biarpun ia jarang bicara tapi setidaknya mukanya ramah ketika melihat anaknya membawa tema kostnya.
"Makasih banyak Bu, maaf merepotkan." Kataku agak sungkan juga.
"Merepotkan apanya, ibu malah senang kamu mau main kemari."
Aku lalu dibawa masuk ke dalam dan di meja makan ternyata sudah disiapkan makanan untuk kami. Tentu saja aku senang, perjalanan empat memang membuat lapar tapi tentu saja aku sembunyikan perasaan ku, nanti disangka tukang badog.
Karena sudah capek maka malam ini aku tidak ngobrol banyak dengan Mira. Selain itu hawa yang dingin juga membuat aku pengin cepat-cepat tidur dibalik selimut. Biarpun kamarnya sederhana khas rumah panggung tapi aku senang saja, apalagi sudah disediakan kasur di ranjang.
Esok paginya jam 5 subuh aku bangun. Setelah sholat subuh aku lalu coba keliling rumah.
"Wah, sudah bangun ya." Terdengar suara dibelakang ku, siapa lagi yang menegurku kalo bukan sahabat ku Mira. Ia tampak menggeliat karena baru bangun tidur.
"Iya dong, rugi liburan cuma di kasur saja." Balasku dengan tertawa.
"Oke, kalo begitu setelah sarapan bagaimana kalo kita ke pantai Malingping?" Tanya nya kepadaku, yang tentu saja aku setuju.
Setelah satu jam perjalanan naik motor roda dua akhirnya kami sampai juga di tempat wisata yaitu pantai Bagedur Malingping. Pantainya indah sekali apalagi pasirnya putih, cuma sayangnya ombaknya agak besar, maklum khas pantai selatan.
Setelah puas bermain di pantai akhirnya sore harinya kami berdua pun cabut.
"Besok kita mau kemana nih Mira?" Kataku di perjalanan pulang. Aku membonceng sedangkan dia yang mengendarai.
"Bagaimana kalo pantai karang bokor?"
"Aduh, jangan pantai terus dong. Memang seru sih di pantai tapi yang lain kek."
"Kebun teh Cikuya bagaimana? Tempatnya juga tidak terlalu jauh. Cuma jalannya agak belak-belok dan curam soalnya pegunungan."
"Oke lah, kamu pasti biasa kesana kan."
Kami sampai di rumah selepas Maghrib. Setelah sholat Maghrib aku lalu keluar rumah. Bunyi jangkrik bersahut-sahutan, maklum disamping rumahnya banyak kebun. Selain itu kadang terdengar bunyi tokek di kejauhan. Kiri kanan gelap beruntung listrik sudah masuk ke desa sini. Bu Heni didalam sedangkan pak Herman katanya lagi keluar rumah.
"Enaknya tinggal disini ya Mir." Kataku padanya yang sedang asyik main handphone. Cuma sayangnya hanya terdapat jaringan 2g tapi setidaknya ada sinyal.
Mira tertawa mendengar omonganku." Aku malah bosan disini Nita, kalo sudah lulus kuliah aku pengin kerja di kota, kalo tidak di Jakarta bisa juga di Tangerang."
Aku memahami keinginannya. Tentu saja ia sudah biasa tinggal disini sehingga tidak merasa spesial, beda dengan ku yang sejak kecil di sebelah ibukota.
Kami pun melanjutkan ngobrol. Saat sedang asyik ngobrol itulah tiba-tiba aku melihat sesuatu melayang di kegelapan malam, seperti sinar merah sehingga mencolok. Sinar itu terbang melayang entah menuju kemana.
"Itu apa Mir?" Tanyaku padanya sambil menunjuk ke arah sinar itu yang lalu menghilang di kegelapan malam.
Ia melihat sekilas cahaya merah itu, mukanya langsung berubah." Yuk, kita ngobrol di dalam saja."
Melihat reaksinya maka aku menduga bahwa hal itu mengejutkan nya. Aku pun menurut biarpun aku belum tahu sebabnya.
"Itu teluhbraja atau santet Nita." Terangnya begitu kami tiba di dalam kamar. Tentu saja aku terkejut dan agak sedikit takut.
"Santet?"
"Disini hal normal, kalo ada sengketa atau tidak suka dengan seseorang. Maka orang itu bisa menyuruh dukun atau paranormal untuk meneluh orang yang dibencinya."
Aku tentu saja takut, belum hilang ketakutan ku, tiba-tiba di kejauhan terdengar suara bunyi tokek keras sekali sehingga kami berdua terkejut.
"Suara apa itu Mir?" Tanyaku padanya.
"Tokek, biasanya di rumah ini memang ada tokek yang kesasar kesini dari kebun, tapi tidak sekeras itu." Jawabnya dengan muka masih pucat. Kami berdua lalu keluar kamar dan melihat Bu Heni sedang asyik menonton televisi di ruang tamu. Ada acara sinetron favoritnya.
"Bu, ibu dengar suara tokek tadi tidak?" Kata temanku itu pada ibunya.
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menengok. Tadinya ia malas menjawab tapi melihatku dengan muka agak pucat ia tersenyum." Maaf ya nak Nita kalo kamu terkejut. Disini memang masih banyak tokek, maklum kampung. Tapi kalo kami sudah biasa."
"Tapi Bu, biasanya tidak sekeras itu." Bantah Mira pada ibunya.
"Aduh, kamu terlalu berlebihan. Sudah disini saja nonton TV temani ibu."
"Tidak apa-apa kok Bu, aku hanya kaget saja." Jawabku cepat-cepat karena takut sahabatku ini beradu argumen lagi dengan mamanya, tidak enak kan.
"Nah, nak Nita saja tahu."
Aku lalu menarik tangannya, Mira terpaksa menurut dan kami lalu masuk kedalam kamar. Sebenarnya aku ingin jalan-jalan keluar rumah tapi sayangnya daerah tempat tinggalnya agak terpencil, mana jalannya banyak lubang lagi, bagaimana kalo motornya rusak karena terantuk batu karena tidak ada penerangan jalan. Mau jalan kaki kami juga ngeri soalnya gelap. Lagipula tidak ada yang menarik di desa ini, membuatku makin malas.
Tak lama kemudian terdengar suara pak Herman datang lalu bercakap-cakap dengan istrinya, entah apa yang mereka bicarakan. Setelah itu terdengar suara seperti orang lain ngobrol dengan pak Herman. Mungkin om satria, tetangga sebelah yang kadang suka ngobrol dengan bapak ku, kata Mira.
Aku sendiri lebih sibuk ngobrol dengan Mira, membahas masalah kuliah, setelah lulus mau kemana dan juga masalah lain. Sampai akhirnya aku ngantuk dan tidur.
* * *
Entah berapa lama aku tertidur, tapi mataku masih mengantuk ketika tubuhku diguncang dengan keras, ternyata dia yang membangunkan ku.
"Ada apa Mir?" Tanyaku padanya dengan mata masih setengah mengantuk, tapi kantukku langsung hilang ketika mendengar suara tangisnya.
"Ibuku Nita, ibuku kesurupan." Jawabnya dengan Isak tangis.
Tentu saja aku terkejut. Aku lalu bangun dan menuju kamar ibunya bersama dia. Benar saja, ibunya sedang mengamuk sambil tertawa. Aku merinding ketika mendengar suaranya karena jelas bukan suaranya Bu Heni. Pak Herman sendiri sedang sibuk menenangkan istrinya sambil membaca ayat kursi dan ayat Alquran lain tapi sayangnya tidak mempan. Malah roh yang memasukinya mencemooh.
"Ayo bacakan lagi, bacakan lebih keras hahaha..." Katanya dengan nada mengejek tapi mukanya sepertinya agak mengernyit. Suaranya seperti nenek-nenek padahal aku tahu persis suara Bu Heni tidak seperti itu.
Aku kaget tidak tahu harus berbuat apa, antara percaya tidak percaya.
Melihat kami berdua maka pak Herman langsung berseru." Mira, cepat ke rumah Abah Dahlan , minta tolong kesini, cepat!"
Mira mengangguk lalu menarikku keluar ruangan. Dengan panik ia lalu menstarter motornya dan kami berdua menuju ke rumah di pinggir desa. Suasana sunyi sepi, maklum sudah tengah malam. Aku yang membonceng di belakang agak ngeri juga, jangan-jangan arwah nenek yang merasuki itu mengekor di belakang ku hi....
"Abah, tolong emak Abah." Teriaknya sambil menggedor-gedor pintu. Agak lama baru seorang lelaki yang sudah berumur dengan rambut sebagian sudah memutih muncul.
"Oh nak Mira, kapan pulang." Bukannya ia langsung pergi tapi malah basa basi bertanya.
Mira terpaksa menjawab lalu sambil menangis ia menceritakan tentang kondisi ibunya. Orang tua itu terkejut.
"Ya udah, aku akan bangunkan khanif untuk ke rumahmu." Ujarnya. Ia lalu ke dalam membangunkan anaknya. Khanif awalnya agak malas tapi ketika telinganya dijewer oleh bapaknya ia langsung bangun. Melihat yang minta tolong abahnya adalah Mira, gadis ayu yang disukai karena wajahnya mirip artis terkenal maka matanya langsung melek.
Begitu mereka sampai rumah ternyata bu Heni masih dalam keadaan kesurupan bahkan meskipun pak Herman sudah dibantu oleh Satria tetangganya tapi mereka berdua masih kewalahan. Abah Dahlan tampak mengernyitkan dahinya. Tanpa banyak bicara ia langsung memegang jempol kaki Bu Heni sambil membaca doa.
Bu Heni berteriak kesakitan tapi yang keluar suara seorang nenek." Manusia bedebah, jangan harap kamu bisa mengusirku dari raga ini hahaha..." Habis itu ia tertawa panjang, membuat suasana dalam kamar makin seram.
"Siapa kamu sebenarnya, mengapa kamu merasuki tetanggaku ini." Seru Abah Dahlan kalem sambil kembali memencet jempol ibu jari Bu Heni.
"Terus, teruskan saja perbuatan mu ini tapi aku tidak akan keluar hahaha..." Katanya makin menantang tapi mukanya jelas terlihat sangat kesakitan. Aku sendiri bingung, apa jempolnya Bu Heni tidak apa-apa dipencet sekeras itu.
"Baiklah kalau itu mau mu roh terkutuk." Kata Abah Dahlan mantap. Ia membaca ayat kursi ditambah doa dalam bahasa lain yang tidak aku pahami. Akibatnya langsung terasa, ia makin mengamuk berteriak antara kepanasan dan kesakitan tapi kadang masih mencemooh juga.
Aku dan Mira hanya bisa berpelukan ketakutan, sambil berdoa semoga arwah yang merasukinya kalah dan keluar dari tubuhnya istri pak Herman.
Sudah sepuluh menit yang terasa seperti berjam-jam tapi arwah yang merasukinya sangat kuat. Ia memang tetap berteriak kesakitan tapi kalo disuruh keluar tetap membandel, bahkan ia kadang masih sempat mengejek kalo tua Bangka itu tidak akan bisa mengusir kecuali kalo yang dirasukinya juga ikut mati. Tentu saja Mira menangis ketakutan mendengarnya.
"Herman, Satria, dan kamu khanif ayo baca ayat kursi juga di sekelilingku." Perintah orang tua itu. Tiga orang yang disebut agak terkejut tapi menurut juga, mereka lalu mengelilingi Bu Heni sambil tidak putus membaca ayat Alquran itu. Abah Dahlan juga membaca doa lain sehingga nenek-nenek itu makin berteriak kepanasan, itu terlihat dari peluh yang membanjir, dengan mata melotot gusar kepada orang tua itu.
"Panas.. tobaattt..."
Abah Dahlan makin kencang membaca doa.
"Orang tua keparat, aku nanti akan kembali.... kembali... Kembali..." Ancamnya.
Bu Heni akhirnya terdiam di ranjang. Orang tua yang rambutnya sebagian sudah beruban itu menarik nafas lega. Ia juga mengusap peluh yang bercucuran.
Aku dan Mira mengucapkan syukur Alhamdulillah.
Kami berdua lalu menunggui Bu Heni, sementara Abah Dahlan, khanif, pak Herman dan om Satria menuju ruang tamu.
"Mir, kenapa ibumu bisa kerasukan ya?" Tanyaku iseng padanya.
"Entahlah, sejujurnya aku tidak tahu kenapa, tapi mungkin ini ada hubungannya dengan warisan."
"Warisan?"
Ia menghela nafas panjang." Sebenarnya ini rahasia keluarga. Jadi ibu dapat warisan lumayan banyak dari nenek ku karena katanya anak kesayangan. Paman dan uwa ku tak terima karena mereka harusnya dapat bagian lebih."
Aku hanya terdiam saja mendengar ceritanya. Sementara di luar ruangan ku dengar pak Herman dan dua tamunya masih bercakap-cakap, pasti mengenai peristiwa ini.
"Kamu tahu, ini bukan pertama kali ibuku kerasukan. Beberapa tahun yang lalu saat aku masih SMP ibuku juga pernah kesurupan, tapi tidak separah ini sih. Waktu itu ayahku saja bisa menangani." Katanya dengan pendanaan mata menerawang." Tapi kali ini, aku tidak menyangka ibu akan seperti ini."
Aku memeluknya untuk menghiburnya." Sudahlah, yang penting sekarang ibumu sudah sembuh kan." Kataku sambil melihat Bu Heni.
Wanita paruh baya yang aku perhatikan tiba-tiba bangun dari tempat tidur. Aku dan Mira teriak histeris karena ia tiba-tiba tertawa kencang. Suaranya juga masih suara nenek-nenek.
"Hahaha!!.."
Kami berdua langsung keluar kamar, beruntung Abah Dahlan dan tiga orang itu masuk. Mereka langsung memegang tangan dan kakinya seperti sebelumnya. Nenek-nenek yang merasukinya tampak tertawa tawa.
Orang tua itu lalu membaca surah An-Nas dan juga beberapa ayat lainnya, seperti tadi ia juga kepanasan dan berteriak kesakitan tapi juga mencemooh sambil meronta-ronta. Ia juga berkata tak mungkin mengusirnya karena akan kembali lagi. Kulihat pak Herman, Satria dan khanif bingung.
"Khanif, coba kamu cari sesuatu di rumah ini yang tidak biasa. Pasti itu media dia makanya jin itu bisa balik lagi." Kata Abah yang sudah berpengalaman dengan hal mistis.
"Cari apa Abah?" Khanif juga ikut bingung karena tidak tahu.
"Hahaha, kamu tidak akan bisa mengusirku pak tua, hahaha..." Katanya mencemooh sambil tetap meronta-ronta.
Orang tua itu tidak menggubris ocehannya." Sudah lepaskan tanganmu dari Heni, kamu pokoknya cari binatang yang tidak biasa yang ada di rumah ini. Itu perantara dia untuk merasuk, kalo tidak ketemu, kita tidak akan bisa mengusirnya."
Aku tiba-tiba ingat." Abah, waktu Maghrib kalo tidak salah aku dan Mira mendengar suara tokek keras sekali di kamarku."
Abah itu langsung sumringah." Pasti itu media dia. Cepat kamu cari Nif."
Hahaha suara nenek-nenek itu masih tertawa, sementara khanif lalu masuk ke kamar kami.
"Dimana kamu mendengar suara tokek itu Mira?"
Yang ditanya juga bingung. Aku coba memperhatikan kamar yang aku tempati. Cukup lama juga kami mencari dengan lampu senter, dibawah kasur tidak ada, di dinding juga tidak kelihatan. Tiba-tiba aku melihat sesuatu." Mas, coba lihat di belakang lemari pakaian, aku tadi melihat sebuah bergerak."
Khanif segera bergerak cepat. Ia geser lemari kayu itu, kami berdua juga ikut membantu. Begitu lemari itu tergeser aku dan Mira melompat karena takut.
Bagaimana tidak, di belakang itu sesuai dugaan ku memang ada tokek, tapi yang tidak aku duga binatang itu besar sekali hampir sebesar anak kucing, padahal umumnya tokek hanya sebesar kadal. Selain itu warnanya yang hitam legam bikin ngeri, belum lagi mata nya yang agak berwarna merah.
Pemuda itu bergerak cepat, ia segera menangkap tokek itu yang anehnya diam saja, padahal seharusnya binatang itu kabur kalo melihat orang.
"Abah, sepertinya ini binatangnya." Katanya sambil memperlihatkan tokek itu. Abah Dahlan lega sementara pak Herman dan om Satria ngeri juga melihat tokek sebesar itu, mana hitam pula.
Orang tua itu tersenyum." Nah jin keparat, sekarang kamu tidak akan bisa mengganggu perempuan itu lagi kalo media perantara kamu ini aku musnahkan."
Nenek-nenek itu marah dan menyumpahi." Keparat, kamu tidak akan bisa menang tua bangka."
"Khanif, kamu pegang Bu Heni, sementara kamu Herman, lekas bakar tokek ini di tungku, kamu punya kan di dapur. "
Pak Herman segera ke belakang diikuti oleh Abah Dahlan, sementara kami berdua mengikuti dari belakang biarpun sebenarnya agak ngeri. Siapa yang tidak ngeri kalo ada tokek setan meneror.
Di dapur pak Herman langsung menyiram minyak tanah dan membakar kayu. Anehnya tokek hitam yang dari tadi diam saja kini meronta-ronta, tapi pegangan Abah Dahlan sangat kencang. Setelah apinya membesar segera saja orang tua itu melempar binatang melata itu ke kobaran api. Hewan itu tampak menggeliat tapi tentu saja ia tidak bisa kabur karena tungku nya segera ditutup.
"Alhamdulillah, ayo kita lihat istrimu Man."
Kami segera menuju kamar Bu Heni. Ia kini sedang tertidur di kamar nya sementara om Satria dan khanif berjaga di pintu.
"Alhamdulillah bi Heni sudah sembuh Bah." Kata khanif. Orang tua itu mengangguk. Kami kini benar-benar lega. Aku yang baru pertama kali mengalami peristiwa mistis juga ikutan lega.
Tapi kelegaan ku hanya sementara, tiba-tiba terdengar suara tokek riuh rendah dan sangat banyak. Aku dan semua orang terbelalak ketika melihat puluhan tokek hitam merayap di dinding dengan mata warna merah seakan mengurung kami.
Sementara malam masih panjang.
TAMAT
mau liburan di rumah mira, padahal tadinya mauk safari pantai bertemu sendi si tupai, spongebob dan patrict di kediaman tuan krab, eh lha kok malah akhirnya dapat pengalaman tegang...ฅ(๑⊙д⊙๑)ฅ!!!
berarti itu kayaknya belom tamat ya mas? Kan masih dikepung? Mana tadi tokeknya segede mpus meow lagi hehehe ฅ(=චᆽච=ฅ)...nita liat tokek segede itu gimana ya perasaannya? 😂🤣
Kalau udah mastah cerpen horror mah pinter aja ya menggambarkan suasana ceritanya, bisaan aja nih bikin setting ceritanya langsung kebayang gimana rumah Keluarga Pak Herman dan Bu Heni (ortunya Mira) 😊😃.
Pas malem malem menyusuri jalanan desa mau jemput si Abah kok mendadak jadi merinding ya mas. Takut dijawab diintilin jinnya hehehe
Bener bener kayak kebayang suasana pedesaan dan rumahnya di sadang garung dsb. Btw pantai malingping itu pantai di tempat mas agus ya? Mbul belum pernah dolan daerah Cikande Banten (ke sana) soalnya mas...
takut di jalan diintilin jin yang bisa merasuki tubuh maksudnya
alhamdulilah pada hapal ayat kursi ya mas...
btw jadi nambah pengetahuan nih, di dekat tempat mas agus ada pantai karang bokor, kebun teh cikuya, dan pantai malingping.
Selain itu aku juga teringat video di snack, berupa bola api melompat2 yg katanya itu hantu mgkn begitukah teluhbraja itu?
Btw kasian juga ya korbannya yg dirasuki itu klo ada hantu bandel begitu yg sulit keluar, bisa2 pas sdh sembuh jempol kakinya copot akibat di tarik2 pak dahlan hehe.
Btw medianya harus tokek ataukah boleh hewan lain mas, kalau media semut bisa ga dan tokeknya itu knp dibakar mgkn bisa dijual? 🤣
Aku nungguin adegan pacarannya ga ada kah, Khanif dan Mira, atau Nita dan Toke 🤣🏃♂️🏃♂️
😁🤣😁
Gede kucing. Dijual ajah. Tokek itu harganya mahal.selamat pagi, Mas Agus. Certanya bagus. Terima kasih telah berbagi kisah.
Bayangin 1 tokek aja, geli astagaaa, ini bacanya dikit-dikit aja tetep kebayang dan merinding sendiri hiks.
Saya tuh paling geli sama mahluk melata kayak cicak, apalagi tokek, ya ampuunnn merinding.
Di sini dulu tuh sering ada tokek, tapi saya baru sadar dong, kalau udah lama nggak terdengar suara tokek.
Pernah juga sampai masuk rumah di kamar mandi, pede betul saya masuk, trus santai, baru liat pas mau keluar auto jejeritan saya di kamar mandi.
Pokoknya tokek itu mahluk mengerikan pertama, lalu kecoa deh hahaha
Itu sepertinya prajurit tokek tuh yang mau balas dendam....
si abah hebat juga, bisa menyembuhkan orang kesurupan
si tokek akhirnya terbakar
ya, mumpung libur ambil kesempatan sebaik2nya
biar tidak menyesal kemudian.
tapi jika lelah ya istirahat saja
biar badan tetap fit