Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gadis bergaun putih part 3


Bu Nita sedang asyik menggoreng tempe mendoan ketika ada seseorang yang masuk ke warung makannya, sementara anaknya sedang sibuk menyiapkan keperluan lainnya. Ternyata dia adalah Agus yang biasa ngutang di warungnya. Bu Nita pun pura-pura tidak tahu dan meneruskan gorengannya.

"Bu, kopi item Bu."

Bu Nita tetap asyik dengan aktivitasnya. Agus cuma bisa diam menunggu karena tahu sang empunya warung ngambek karena hutangnya bulan lalu belum dibayar. Ingin pesan kopi pada anaknya juga tak mungkin selama ada ibunya.

Gadis Bergaun Putih part 1

Gadis Bergaun Putih part 2

"Bu, bikin teh manis hangat ya, gulanya jangan terlalu banyak. Seseorang masuk langsung dan duduk disampingnya Agus membuatnya sumringah, siapa lagi kalo bukan Satria, novelis terkenal yang sedang naik daun. Ia duduk lalu memakan pisang goreng yang masih hangat.

Bu Nita pun langsung meletakkan gorengannya." Wah nak Satria tumben mampir ke warung ibu."

"Iya Bu, kangen masakan ibu." 

"Kangen masakannya apa kangen Rina anaknya mas." Agus tiba tiba nimbrung. 

Sueee, maki satria dalam hati sementara matanya agak melirik pada anaknya. Bu Nita sendiri langsung mendelik pada Agus yang membuatnya diam.

"Ngomong ngomong nak Satria, baru kau seorang yang betah menunggu rumah Herman selama lima bulan ini. Biasanya baru seminggu bahkan tiga empat hari sudah kabur."

"Oh ya." Kata Satria sambil kembali mengambil gorengan."

"Betul." Kata Agus menimpali." Bahkan dua tahun lalu ada peristiwa yang bikin heboh warga sini mas. Kalo ngga salah, sempat viral juga di sosmed lho."

Satria tentu saja tertarik." Oh, peristiwa apa?"

Agus melihat dulu kedalam dimana Bu Nita sedang ke belakang beres-beres perkakas habis menggoreng." Bayarin kopi dan gorengan ku dulu mas, nanti aku ceritakan." Bisiknya.

Satria hanya bisa geleng-geleng kepala saja." Bukan cuma kopi dan gorengan saja, kalo perlu utangmu di warung Bu Nita juga akan aku bayarin kalo memang menarik ceritanya."

Agus tentu saja senang. Akhirnya ada juga yang akan melunasi hutangnya." Begini mas. Dua tahun lalu kalo ngga salah pada malam Jumat ada seorang tukang ojek yang berhenti di depan rumah tersebut. Ia celingak-celinguk sambil sesekali melihat hapenya. Aku yang waktu itu pulang habis nganter Rini lalu nanya."

Agus sengaja menghentikan ceritanya. Melihat reaksi Satria yang sepertinya sangat tertarik ia baru melanjutkan." Nah, kata Abang ojol itu ia dapat pesanan makanan yang minta diantarkan ke kampung sini, tepatnya rumah itu. Tentu saja aku kaget lalu aku bilang, rumah itu sudah lama tidak ada penghuninya bang. Tapi tukang ojek online itu ngotot, katanya bulan lalu ada orangnya kok. Ya aku bilangin lagi, bulan lalu memang ada orang yang nyewa rumah pak Herman ini, tapi baru seminggu udah minggat karena dihantui terus oleh penunggu rumah tersebut. Kalo tak percaya, silahkan masuk saja ke dalamnya tantangku. Ia bingung lalu melihat lagi hapenya. Mukanya tiba tiba pucat karena..."

Agus sengaja menghentikan lagi ceritanya.

"Karena akun ojol wanita yang pesan makanan itu tiba-tiba hilang bukan." Kata Satria.

"Lho, kok tahu mas." Kata Agus kaget.

"Ya jelas tahu mas. Kan ceritanya viral di Facebook. Banyak yang share di timeline ku." Ujar Satria sambil tertawa.

Syukurin, ledek Bu Nita dari belakang. Agus cuma bisa pegang kepalanya saja, buyar sudah impiannya agar hutangnya lunas.

"Makanya kerja kalo mau dapat duit Gus, bukan cuma ngoceh saja. Awas, kalo kamu ngga punya pekerjaan, jangan harap anakku dapat kau kawin, mengerti." Bu Nita langsung menceramahi pengunjung nya yang suka ngutang ini. Ia adalah ibu tunggal, suaminya sejak beberapa tahun lalu menikah siri dengan wanita lain dan sebagai perempuan yang tidak mau dimadu ia memilih bercerai dengan pasangannya dari pada sakit hati terus. Sejak itu untuk menghidupi keluarganya ia berjualan warung makan.

Melihat temannya itu kecewa maka Satria lalu menepuk-nepuk pundaknya." Tenang mas, kopi dan makananmu nanti aku yang bayar."

Muka Agus tentu saja langsung sumringah, lumayan lah pikirnya. 

Sementara Bu Nita sendiri hanya bisa diam memperhatikan. Dalam hati sebenarnya ia ingin anaknya Rina berjodoh dengan Satria. Orangnya ganteng, duitnya banyak mana punya mobil lagi. Seorang menantu idaman. Tapi sayangnya anaknya sudah lama pacaran dengan Agus yang hanya seorang pengacara, pengangguran banyak acara. Dan sebagai ibu yang baik maka ia tidak akan memaksa pada anaknya.

Satria lalu bertanya pada temannya itu." Mas Agus sendiri tahu, siapa wanita yang katanya menunggu rumah yang aku sewa?"

"Wah aku kurang tahu detil kalo itu mas. Maklum biarpun aku asli sini tapi baru lima tahun pindah kesini. Sebelumnya aku ikut pamanku sekolah di kota sebelah. Seingatku sih waktu kecil belum ada rumah itu, tapi lima tahun lalu ada dan juga sudah angker."

Satria tentu saja agak kecewa.

Bu Nita tiba tiba nimbrung." Kenapa tanya-tanya mas, apa kau diganggu oleh Larasati?"

"Larasati?" Tanya Satria.

"Lho, kamu sudah lama tinggal disana tapi tidak tahu itu rumah bekas Larasati. Memang selama ini kamu ngapain saja?" Tanya tukang warung itu penasaran.

"Anu Bu. Aku ini novelis, jadi ya bikin novel."

"Bagaimana caranya bikin novel? Buat apa bikin novel?" Tanya Bu Nita yang memang tidak tahu kalo karya tulis juga bisa menjadi penghasilan. Tahunya ya kalo mau dapat duit itu usaha seperti buka toko atau bekerja di pabrik.

Satria berpikir sejenak." Cara bikin novel ya menghayal Bu. Setelah itu hasil khayalan itu dituangkan dan di ketik dalam bentuk tulisan dan jadi buku. Jadi nanti kalo ada yang beli buku kita nanti dapat duit."

"Oh begitu ya." Sang empunya warung manggut-manggut, entah mengerti atau tidak." Enak kamu nak Satria, ngayal dapat duit. Lha kalo kamu Gus, kalo ngayal ya dapatnya stress."

Sialan, maki Agus dalam hati, sementara di mulutnya ia hanya nyengir saja 

"Jadi, siapa itu Larasati Bu?" Tanya Satria lagi.

* * *

Larasati adalah seorang wanita muda yang cantik dan menjadi istri dari pak Jonathan, direktur dari sebuah pabrik di kota tersebut, yang sebenarnya seumur dengan bapaknya. Sayangnya Larasati bukan istri sah tapi hanya istri muda dari sang pengusaha.

Laras sendiri menikah dengan pak Jonathan karena desakan ekonomi. Keluarganya memiliki hutang yang cukup besar dengan pak Jonathan dan jika ingin hutangnya lunas maka ia harus mau jadi istrinya. Dengan berat hati biarpun tidak mencintai sama sekali tapi Larasati bersedia menikah dengannya demi keluarganya.

Pak jon sendiri memang mencintai Larasati karena cantik. Ia lalu membuatkan sebuah rumah di desa tersebut karena jauh dari keluarga utamanya sehingga rahasianya aman. Tapi biarpun istri muda, ia jarang dikunjungi olehnya karena tak ingin istri tuanya curiga.

Tapi sayangnya Larasati tidak terima. Ia minta agar suaminya itu lebih sering berkunjung. Pak Jonathan awalnya tidak menggubris tapi ketika Laras mengancam akan minta cerai dan juga bicara pada istri sahnya barulah ia sering datang. Apalagi terdengar kabar angin kalo istri mudanya itu punya selingkuhan.

Begitulah, pertengkaran kadang masih sering terjadi pada suami istri itu karena pengusaha itu angin-anginan, kadang datang seminggu dua kali, kadang sebulan baru datang. Hingga suatu hari konon pak Jonathan menceraikan Larasati. Ia lalu mengusirnya dari rumah itu. Tak ada yang tahu kemana Laras pergi, kata suaminya sih pulang ke keluarganya.

"Tapi ada kabar, sebenarnya Laras bukan pulang ke rumah keluarganya tapi dibunuh." Begitu Bu Nita mengakhiri ceritanya.

"Dibunuh?" Kaget juga Satria mendengarnya walaupun sudah menduga.

"Iya, soalnya sejak saat itu rumah tersebut dijual murah pada Herman. Nah, sejak itu kabarnya ada hantu penunggu rumah tersebut, wujudnya seperti gadis bergaun putih yang suka mengganggu siapapun yang menempati rumah itu."

"Kenapa pak Herman tidak menyuruh polisi menyelidiki rumah itu kalo ada pembunuhan?" Tanya Satria, agak serem juga ia membayangkan kalo ada mayat dalam tempat tinggalnya.

"Sudah, pernah sekali ada polisi yang datang ke rumah tersebut dan memeriksa tapi tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan. Akhirnya ya dibiarkan begitu saja, apalagi ada kabar pak Jonathan itu menyuap polisi agar tidak datang kesana lagi. Kasihan dia, padahal dia anak baik, tapi sekarang menghilang entah kemana." jawab tukang warung. Satria sendiri hanya bisa diam mendengarkan.

Setelah mendengar bahwa mungkin dirumahnya ada mayat Larasati maka esok harinya Satria coba mencari tempat dimana dia dikubur. Ia melihat-lihat halaman di rumah tersebut yang luas tapi tidak ada gundukan tanah yang mencurigakan. Di atas loteng juga tidak ketemu, biarpun ia jadi geli sendiri. Kalo di loteng pasti bau mayatnya jadi ketahuan.

Rupanya dia juga tahu seperti aku sedang sibuk mencari. "Cari apa sih?" Bisiknya pada Satria.

"Kepo aja." 

"Apa itu kepo?" Kata dia yang memang tidak tahu istilah tersebut.

"Ih, mau tahu saja." 

Sosok samar-samar disamping satria cemberut. Ia buru-buru memegang tangannya." Tak usah curiga manis. Aku suka rumah ini dan sepertinya aku ingin membelinya, jadi aku harus pastikan kalo rumah ini nyaman untukku bukan."

"Kau ingin membelinya?" Katanya terbelalak.

"Yah, mungkin sudah saatnya aku menetap, tidak berpindah terus. Jujur saja aku suka rumah ini." Satria menghentikan sejenak omongan nya." Dan juga suka kamu." Katanya sambil mengedipkan matanya.

Dia tersenyum senang lalu sosok samarnya perlahan-lahan menghilang. Saat Satria bingung kenapa ia pergi, tiba-tiba sebuah kopi hangat sudah terhidang di sampingnya, hampir saja ia menumpahkan karena tidak tahu. Sebuah piring berisi kue tampak melayang mendekatinya.

"Maaf Laras."

Piring itu tiba-tiba langsung jatuh kebawah, menimpa lantai keramik menimbulkan suara berisik sehingga isinya berantakan. Astaga, baru Satria ingat kalo ia sudah kelepasan bicara.

Sosok didepannya tampak bergetar, katanya lirih." Kau...kau sudah tahu."

Satria tahu berbohong juga percuma, pelan-pelan akhirnya ia mengangguk. Air mata tampak jatuh di pipinya dan tiba-tiba ia menghilang.

"Laras, Larasati." Satria berteriak memanggil tapi tak ada gerakan apalagi sahutan.

Sudah seharian ia menunggu Larasati muncul tapi nihil. Entah mengapa ia menghilang, tak pernah ia tahu karena ia memilih diam biarpun dipanggil. Akhirnya Satria terpaksa memasak dan mengerjakan tugas rumah lainnya seorang diri. Malam harinya dari pada pusing ia memutuskan untuk mulai membuat novel baru lagi tapi karena pikirannya masih ruwet maka gagal terus.

Esok harinya ia berharap ada suara di dapur atau dimana pun bertanda ia muncul, tapi sayangnya rumah tetap sunyi sepi, seperti ketika pertama kali satria datang. Ia akhirnya memasak sendiri setelah sekian lama makanan selalu diurus oleh dia.

Baru disadari olehnya kalo ia sudah banyak berjasa. Selain makanan, ia selalu mengurus pekerjaan lainnya sementara ia sibuk mengetik dan tidak pernah sekalipun dia mengeluh. Kehadirannya juga membuat kehidupannya kembali bergairah setelah ditinggal ia oleh Vera.

"Laras, kumohon maafkan aku jika bersalah. Kau tahu aku sangat menyayangimu." Katanya berteriak dalam rumah.

Tak ada sahutan.

Tak putus asa, satria kembali bicara." Maafkan aku sudah berusaha mencari tahu tentang dirimu. Sungguh, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu siapa dirimu. Dan setelah tahu, siapapun dirimu aku tetap suka."

Akhirnya ada juga suara menyahut. Tapi sayangnya bukan suara Larasati." Nak Satria, mau beli sayur tidak."

Ternyata tukang sayur dari luar.

Satria segera keluar. Dilihatnya Bu Heni, tukang sayur langganan nya ada di depan rumah. Memang sejak beberapa waktu lalu ia tidak ke pasar lagi, semua keperluan makanannya ia beli darinya.

"Wah, pagi-pagi sudah rajin keliling Bu." 

"Ya iyalah, kalo malas siangan dikit maka langganan ku nanti diserobot orang lain. Pesan seperti biasa kan?" Tanyanya pada tuan rumah.

Satria hanya mengangguk. Tukang sayur itu lalu membungkus sayur dan lauk pauk yang dipesannya.

Sambil memberikan barangnya, iseng-iseng Bu Heni bertanya." Sedang ada tamu ya nak?"

"Tamu?" Jawab Satria bingung.

"Iyah, soalnya tadi ibu dengar nak Satria ngomong sama seseorang."

"Oh." Satria paham." Bukan tamu Bu, aku hanya sedang larut dalam membuat cerita novel. Jadi mungkin terbawa suasana dan sampai ngomong dalam lamunan."

Tukang sayur itu yang sudah tahu pekerjaan satria ini jadi tertawa." Lha kamu untung nak. Kamu ngelamun dapat duit, kalo orang lain kebanyakan ngelamun bisa jadi gila." 

Satria jadi tertawa karena ingat omongannya kok mirip Bu Nita, apa mereka punya telepati ya.

"Kenapa hanya menulis novel saja sih. Menurutku kamu juga cocok jadi bintang film. Sudah ganjen, eh ganteng mana pintar berakting lagi. Eh, tapi kalo sudah jadi artis jangan sombong ya nak."

Tawa Satria makin lebar mendengar celotehan tukang sayur itu.

"Lihat kamu disini aku jadi teringat sama Larasati." Katanya.

Satria jadi terkejut." Bu Heni kenal Laras?"

Tukang sayur itu mengangguk." Tentu saja. Ia juga dulu langganan ku dan sama sama royal seperti kamu kalo soal duit. Yah, namanya juga istri pengusaha walaupun cuma istri muda. Sebenarnya ia anak baik, terpaksa kawin dengan pak Jon karena keluarganya terlilit hutang. "

Satria diam menyimak.

"Konon kabarnya..."

Baru wanita separuh baya itu mau melanjutkan ceritanya datang ibu ibu lain yang belanja sayur. Terpaksa ia menghentikan lalu melayani dulu. Beberapa tetangga menyapa satria yang segera dibalasnya.

Satria tak berniat ikut nimbrung dengan para ibu-ibu itu, segera saja ia masuk ke dalam. Ia memang tidak terlalu akrab bergaul dengan para ibu-ibu karena biasanya akan menghabiskan waktu saja, apalagi kalo sudah bahas gosip yang ada dikampung ini.

Ia letakkan barang belanjaannya di dapur lalu ia pergi keluar rumah untuk membuang penat pikirannya. Beberapa tetangga menyapanya yang ia balas dengan anggukan dan klakson mobil.

Sudah seharian ia jalan-jalan ke kota, dari menonton bioskop, pergi ke rumah teman sampai ke Mall tapi ia tetap lesu juga. Akhirnya setelah Maghrib ia baru pulang. Lampu rumah sudah menyala dan ketika ia masuk, di atas meja sudah terdapat makanan, sudah agak dingin bertanda ia sudah lama memasaknya.

"Laras, apakah kau sudah memaafkan ku?" 

Sesosok wanita samar-samar hadir didepannya. Melihat ia sudah ada didepannya langsung saja Satria memeluknya, erat sekali seakan tidak ingin melepaskannya kembali.

Malam harinya sengaja ia tidak mengerjakan tugas mengetik novel. Satria bercerita tentang apa saja, sementara Larasati setia mendengarkan sambil duduk di kasur disertai iringan lagu dari penyanyi Gita Gutawa.

"Dulu waktu aku SMP ingin menjadi seorang penulis karena membaca di sebuah berita kalo seorang novelis bisa menjadi kaya hanya dengan menulis. Kebetulan aku orangnya bosanan, kalo kerja di pabrik atau perusahaan maka tidak betah."

"Awalnya cerpen cerpen ku dianggap tidak bagus. Aku tidak langsung putus asa, kucoba membuat lagi cerpen dan juga banyak membaca novel novel favorit. Lambat laun cerpenku mulai diminati, tapi sayangnya penghasilannya tidak seberapa bahkan kadang habis untuk makan dan minum saja, mana honornya kadang telat dibayar pula."

Dia tersenyum dan masih jadi pendengar setia.

"Suatu ketika, ada lomba menulis cerpen yang pemenangnya akan diterbitkan oleh penerbit besar. Aku mencoba sekuat tenaga, siang malam aku menulis cerita agar hasilnya bagus. Teman-temanku juga ikut menyemangati, Alhamdulillah akhirnya berhasil juga menjadi juara biarpun cuma juara ketiga. Sejak itu karir ku sebagai penulis lancar." Satria menyudahi ceritanya.

"Temanmu itu, salah satunya wanita berambut pirang yang kemarin kesini sama pacarnya bukan? Pasti bukan teman biasa." Tanya Larasati dengan pandangan mata seperti menyelidik.

Satria jadi tertawa." Oh namanya Mona , teman biasa, tidak ada apapun antara aku dan dia."

"Bohong." Katanya tidak percaya.

"Ih, kok cemburu."

Larasati jadi ngambek." Siapa yang cemburu." Katanya sambil melempar bantal ke arah Satria. Terpaksa ia menangkapnya karena kalo tidak bantal itu akan mengenai laptopnya. Setelah menangkap, dilihatnya dia sudah menghilang.

"Laras..."

Tak ada sahutan ataupun gerakan. Marah kan dia?

Satria terpaksa bangkit dari kursi." Laras, aku tadi hanya bercanda, maafkan aku sayang."

Saat Satria berusaha mencari, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu yang tidak kelihatan. Tak ampun lagi ia pun jatuh kebawah.

Hihihi, sosok Larasati langsung muncul. Rasanya puas sekali ia bisa membalas satria. Tapi hatinya jadi khawatir karena dilihatnya ia masih jatuh tidak bergerak.

Astaga, apakah ia kena sesuatu. Segera saja Larasati melayang mendekatinya. Begitu ia mencoba membalikkan tubuhnya ternyata Satria langsung menyeringai." Kena kau." Katanya sambil memeluknya.

Tapi tidak disangka keesokan harinya Mona ternyata datang ke rumah itu, mana sendirian pula. Ia datang karena ingin memberi kabar pada Satria. Ia akan menikah bulan depan dengan Erik pacarnya.

"Selamat ya." Kata Satria dengan tulus sambil mengulurkan tangan. Mona membalas uluran tangannya tapi ia tidak melepaskannya, malah menarik tubuh novelis itu hingga bertempelan." Hanya selamat saja mas Satria."

"Mona."

"Ciumlah aku mas, setidaknya sebagai kenang-kenangan sebelum aku menjadi istrinya Erik dan tidak berhak lagi mencintaimu." Pintanya.

Mona memejamkan matanya, bibirnya yang merah terlihat pasrah menantang. Melihat hal itu, luluh juga hati Satria, segera saja ia menunduk untuk menciumnya.

Musik tiba-tiba menyala keras dari ruang kerjanya. Suaranya sengaja disetel pada volume tertinggi sehingga seisi rumah seakan-akan pecah berantakan. Bukan cuma itu, pintu kamar yang tadinya terbuka juga langsung menutup dengan keras, sangat keras.

Brak, sebuah foto yang tergantung di dinding tak ayal lagi langsung jatuh, menimbulkan suara yang berisik dan kaca yang pecah.

Mona langsung mundur, kaget.

"Astaga, kamu sudah punya sekertaris baru nih? Boleh dong aku kenalan." Katanya sambil bergerak menuju kamar.

"Jangan." Satria langsung mencegah.

"Kenapa?"

"Karena.., karena ia sangat galak."

Mona terpaksa percaya dengan kata-kata Satria karena belum selesai ia bicara, sebuah kotak kayu terbang menuju arahnya. Melihat hal itu, novelis itu langsung menghadang didepannya sambil berusaha menangkis.

Tangkisan itu berhasil, tapi sayangnya tenaga lemparan yang kuat membuat tangan satria langsung ngilu, sakit bukan kepalang, sementara kotak kayu itu jatuh ke bawah, isinya berhamburan ke lantai.

Mona langsung mundur dengan pucat." Sekretaris macam apa itu."

Ia tidak banyak cakap lagi, tahu kehadirannya tidak dikehendaki oleh asistennya Satria maka ia keluar rumah. Setelah melambaikan tangan pada tuan rumah ia pun lalu pulang dengan mobilnya.

Setelah Mona pergi, sakit ditangannya makin menjadi. Dilihatnya perabotan didalam rumah dibuang kian kemari oleh tangan tak terlihat. 

"Laras, hentikan sayang. Aku tadi khilaf." 

Belum selesai ucapannya, sebuah buku melayang kearahnya sehingga Satria terpaksa menghindar. Tahu bahwa percuma saja menjelaskan maka iapun kabur keluar rumah.

Hari sudah sore ketika Satria pulang. Begitu membuka pintu dilihatnya semuanya masih berantakan. Terpaksa ia membenahi sendiri. Buku yang berantakan ia rapikan, begitu juga yang lainnya. Setelah itu ia ke dapur untuk membuat mie instan karena Larasati tidak menyiapkan makanan seperti biasa. Begitu ia ke ruang tamu, dilihatnya buku dan barang lainnya sudah berantakan lagi.

"Laras, maafkan aku."

Sebagai jawaban, wajan yang tadi untuk memasak mie jatuh ke bawah, menimbulkan suara berisik. Melihat hal itu, tahulah ia kalo Larasati masih marah. Percuma saja menjelaskan pikirnya, ia lalu keluar rumah lagi. Didepan pintu ia lalu berkata." Puaskanlah kemarahanmu."

Piring berisi mie instan itu melayang keatas lalu menuju ke arah pintu. Satria buru buru menutup pintu lalu kabur, terdengar suara pecah berantakan di dalamnya.

Sudah beberapa hari ini Larasati gelisah setelah mereka kembali baikan. Ia selalu kelihatan resah seperti ada sesuatu. Melihat kekasihnya itu mondar-mandir tak tentu arah, Satria menyapa dan menanyakannya, tapi sayangnya dia juga tidak tahu kenapa ia kebingungan. Saat novelis itu mengajaknya keluar rumah untuk rekreasi ia menolaknya karena ia tidak bisa keluar dari rumah ini.

Akhirnya daripada tidak ada kegiatan maka Satria mulai menulis buku lagi. Entah berapa lama ia menulis, karena memang jika ia sudah mengetik ia suka lupa waktu.

Sebuah ketukan pintu menyadarkannya. Dilihatnya sudah pukul dua m tengah Uh, siapa pula orangnya yang tengah malam begini mengetuk pintu. Rasanya tak mungkin warga sekitar walaupun kalo siang hari mereka memang sudah mulai berani bertamu ke rumahnya, salah satunya ya Agus kalo kepepet duit.

Dengan malas ia menuju pintu depan. Dilihatnya ada sesosok tubuh berdiri di hadapannya. Ternyata ia adalah seorang laki-laki paruh baya dengan wajah yang terlihat letih. Ia kenal sebagai pemilik mobil yang beberapa waktu lalu mogok didepan rumahnya.

"Selamat malam mas."

"Malam juga pak. Ada apa ya?"

Pria itu mencoba memasang wajah ramah di raut mukanya yang letih." Maaf mas, apakah aku boleh menginap disini?"

"Menginap?" Tentu saja Satria kaget. Sudah beberapa kali ia mencoba menawarkan untuk menginap pada warga sekitar tapi tidak ada yang mau, termasuk Agus yang juga langsung kabur kalo disuruh menemaninya.

"Ah, tentu saja kalo mas tidak berkenan aku tidak memaksa. Aku dalam perjalanan pulang, tapi rumahku masih jauh. Jadi aku putuskan untuk bermalam disini karena badanku sudah letih." Katanya sambil menyebutkan rumahnya berada di daerah yang memang Satria tahu cukup jauh ditempuh.

"Oh tidak apa-apa kok. Silahkan masuk pak." Katanya sambil membukakan pintu lebih lebar. Pria itu mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam.

Satria segera ke belakang untuk membuat kopi. Dilihatnya tamunya itu sedang duduk di sofa ketika ia kembali.

"Maaf merepotkan." Katanya sambil menerima gelas.

"Oh tidak apa-apa, aku malah senang kok." Kata tuan rumah biarpun sebenarnya ia agak malas. Coba kalo dulu ia tidak mengajak masuk, tentu ada alasan untuk menolak.

Tamu itu tampak senang. Ia lalu bercerita kalo ia baru mengadakan pertemuan bisnis yang melelahkan, tapi lelahnya terbayar dengan berhasilnya kerja sama proyek. Satria hanya diam saja menyimak. Tamunya lalu diam meminum kopi yang disuguhkan tuan rumah, diminumnya sejenak lalu diturunkan lagi.

"Maaf, apakah aku bisa minta gula lagi, rasanya kurang manis."

Tamu yang sopan, gerutu novelis itu dalam hati. Ia bangkit lalu ke belakang untuk mengambil gula pasir. Saat ia kembali dilihatnya tamunya agak gugup, entah kenapa.

Mereka lalu ngobrol segala macam, ternyata bapak separuh baya yang tubuhnya masih tegap itu cukup pintar juga meladeni pemuda itu tentang sastra, tapi sayangnya ia bukan penggemar dari novelis itu. Tak lama berbincang-bincang Satria tampak ngantuk. Aneh, padahal biasanya ia sanggup mengetik sampai sehari semalam jika sedang kerajinan menulis novel.

"Maaf, aku agak ngantuk."

Tamunya tampak memaklumi, ia juga menguap. Akhirnya Satria memutuskan untuk mengantarkannya ke kamar tidurnya.

"Ini kamarnya, mohon maaf kalo berantakan karena jarang kupakai." Katanya sambil sedikit menguap. Pria itu mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam.

Begitu ia masuk maka pemuda itu lalu ke kamarnya sendiri. Matanya sudah mengantuk bukan main dan begitu ia naik ke tempat tidur, ia langsung terlelap.

Larasati datang dalam mimpinya dan ia meracau dan berteriak tak jelas. Satria sendiri jadi bingung karena tiap ia minta agar dijelaskan tapi ia malah makin kacau dan menangis histeris.

Ia membuka matanya tapi masih sangat mengantuk hingga akhirnya tertidur lagi. Larasati kembali datang dalam mimpinya, kali ini ia tidak menjerit-jerit lagi tapi malah kali ini datang dengan pakaian yang tipis sehingga novelis itupun terbuai. Satria mencoba menciumnya tapi betapa terkejutnya ia ketika melihat kekasihnya itu berubah. Pertama-tama mukanya berubah seram, terus kepalanya tiba-tiba mengucurkan darah menetes dari kepalanya yang bocor, belum lagi matanya melotot dan jatuh kebawah. Satria tentu saja mundur ketakutan tapi ia melayang menuju dirinya hendak menciumnya.

Jangaannn!!! Teriaknya. Ia mengerjapkan matanya dan juga mengedarkan pandangannya. Ia masih dalam kamarnya, tak ada Larasati dalam wujud menyeramkan ataupun sosok samar-samar seperti biasa, hanya ia sendiri. Saat ia bingung kenapa kekasihnya itu menakutinya saat itulah ia mendengar suara yang berisik, bukan dari ruangan tempatnya berdiri tapi dari luar.

Dengan mata masih setengah mengantuk maka ia keluar kamar. Dilihatnya seseorang sedang ada di kamar mandinya, sedang sibuk menggali lantainya dengan sebuah linggis menimbulkan suara hingar-bingar. Pecahan keramik serta barang lainnya tampak berantakan disekitarnya, dan ia mengenalnya sebagai tamunya yang terhormat.

"Apa yang kau lakukan?" Katanya tak mengerti, mungkin karena baru bangun.

Pria paruh baya itu tampak terkejut bukan main karena disangkanya tuan rumahnya masih tertidur pulas.

"Menyingkirlah." Teriaknya parau.

Satria tentu saja tidak mau beranjak." Apa, kau suruh aku menyingkir agar harta karun ini bisa kamu kangkangi sendiri." 

Pria itu tiba-tiba mengayunkan telapak tangannya ke arah leher. Jika dalam keadaan biasa maka Satria mungkin bisa menghindari tapi karena matanya masih sedikit mengantuk maka pukulan itu mendarat di lehernya. Biarpun tidak telak karena ia mengelak tapi sudah cukup untuk membuatnya terjatuh.

Melihat lawannya jatuh maka pria paruh baya itu menghentikan gerakannya karena menyangka tuan rumah itu pingsan. Tapi ketika ia melihat Satria masih bergerak maka dia pun kembali beraksi, kali ini ia langsung memukul ke wajahnya. 

Novelis itu tentu saja tidak mau dipecundangi untuk kedua kalinya. Pukulan pertama sudah menghilangkan semua kantuknya. Segera ditahannya pukulan yang mengarah mukanya itu.

"Bangsat, pasti kamu sudah memberikan obat tidur pada minumanku."

Pria itu terkejut." Dan kau ternyata cukup kuat untuk menahan pengaruhnya."

Bukan, bukan karena ia kuat menahan pengaruh obat tidur itu, tapi karena Laras membangunkannya.

Kini dua laki-laki berbeda usia berkelahi dengan sengit. Biarpun satria baru berusia dua puluh lima tahun dan kuat tapi karena tamunya itu seperti kerasukan maka tenaganya besar sekali. Mereka berdua bergumul di lantai dan tiba-tiba, lutut kanan pria itu mendarat telak di selangkangan tuan rumah.

Sekuat apapun Satria, ia langsung lemas tak bertenaga terkena serangan maut itu. Ia hanya pasrah saja ketika kedua tangan lawannya itu langsung mencekik lehernya, kuat sekali. Nafasnya pun langsung tersengal-sengal.

Ya Allah, apakah aku akan mati? Batinnya.

Bersambung

Gadis Bergaun Putih part 4

Agus Warteg
Agus Warteg Hanya seorang blogger biasa

48 komentar untuk "Gadis bergaun putih part 3"

  1. Eeehhh bentar gw punya mantan dulu waktu ngekost namanya Larassati juga...🤣🤣🤣🤣 Bisa pas gitu yeee...Suuueee...🤣🤣

    Hebat gw emng bisa meluluh lantakan hati Larassati.🤣🤣

    Meski ia punya pukulan Dewa topan Menggusur Gunung..Yang bisa membuat ruangan berantakan ...🤣🤣😋🤣

    Akhirnya si Kadrun mantan larassati datang juga ingin menggali makam larassati ...
    Tapi buat apaan si Kadrun apa ia takut kebusukannya ketawan....🙄😲😲

    Katanya sampai part 3 doang...😔😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. ckckckckckckck, mesti nih ya, si Don Juan, mantannya segudang aja kagak cukup kayaknya hahaha

      Hapus
    2. @Satria, sebenarnya mantan kang satria itu ada berapa ya? 😁

      Tadinya mau sampai 3 season saja, tapi ternyata sudah panjang jadinya diubah 4 season kang.😂

      Hapus
    3. @Reyne, dari pada ngoleksi mantan bikin bini cemburu, mendingan ngoleksi mobil ya mbak.😄

      Hapus
    4. Nah, koleksi mobil, koleksi emas, koleksi foto keliling dunia, banyak ya yang menarik :D

      Hapus
  2. Waahhh di sini saya bacanya pas tengah malam buta nih, kirain bakalan serem, ternyata enggak sama sekali, saking lakonnya nggak ketakutan, tapi kok ya tersengal-sengal juga bacanya membayangkan melawan kantuk gitu.

    Btw kok disambungin ke part 4 sih?
    Untung udah tayang, kan jadinya penasaran banget, apa orang itu yang membunuh Larasati si mantan novelis eh salah ya, mantannya Kang Sat itu mah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Rey kalo blog walking memang sukanya malam hari, cocok buat baca cerpen horor.😁

      Tadinya mau bikin tiga episode mbak, cuma setelah aku cek kok sudah lebih 4000 kata padahal masih panjang, jadinya aku bikin empat episode saja.😄

      Hapus
    2. hahahaha iyaaa... kalau siang laptop dipake si Kakak, kalau sore, waktunya nemanin bocah-bocah, terpaksa malam deh :D

      Eh iya juga ya, ternyata kalau dipecah-pecah bacanya juga lebih detail, karena mata juga nggak lelah, apalagi ceritanya menarik :D

      Hapus
  3. Penasaran penasaran, langsung klik part 4 sampe lupa komen hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, makasih sudah komentar mbak Rini. Itu namanya aku pakai ngga apa-apa kan.😁

      Hapus
    2. akhirnya semua kopdaran juga ya mas, walo cuma lewat cerpen hihihi

      Hapus
    3. Betul, kalo kopdar beneran di dekat warung kopi sini sih mau mbak.😂

      Hapus
  4. Menggali harta karun dikamar mandi, jgn2 harta karun emas batangan yg kuning2 itu, tapi beda sih kamar mandi sama wc 😂 😆

    Dasar hantu, kalo ngamuk ga kira2 😂😂

    Oke deh mo lanjut baca ke part 4, barangkali di part 4 hantunya pake gaun tipis lagi 😛😛

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, jangan jangan harta Karun nya itu celengan satria kalo habis BAB.😂

      Di part 4 bukan pakai daun tipis lagi tapi udah ngga pakai gaun, karena sudah jadi tulang belulang kang.

      Hapus
  5. "Maafkan aku sayang...aku khilap..."
    khilap khilap palelo bau menyan...dasar ganjeeeen, nyosoooor aje kerjaannya..begitu kira kira isi hati larasati tatkala cembukur menyintai pria yang sangat don juan...tak tahu ada kesempatan dikitt aje langsung nyosor berbagai macam tipikal wanita hahahhaha...


    oiya...bole tebak ga...pak tua penggali lantai kamar mandi kayaknya pak jonathan yakkk..

    etdahhh..pas masi idup hantu laras kenapa tetep merana ya pas nda sering dikunjungi suaminya yang sudah bau tanah tapi kaya itu...padahal katanya kawin pun terpaksa nda ado sedikitpun raso cinto hahhahah...
    tapi tetap kali ya..kalau dah dikawin mah kebutuhan biolohis tetep bicara wakakka

    next ke halaman bawahnya ke part 4, gagal deh aku jadi team garcep..maklum libur 2 hari euy🤣🤣🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, mbak mbul bisa Bahaso Minang ya.😱

      Iya tuh, biarpun ngga cinta tapi kalo urusan nyosor mah ayo saja, mumpung ada kesempatan kan.😂

      Mbak mbul bisa nebak nih, berarti indigo dong.😱

      Mungkin biarpun ngga cinta, tapi kalo ngga dikelonin ya memang pusing juga.😂😂😂

      Hapus
    2. Namanya juga senasib sama Siti Nurbaya, Mas Agus 😂

      Hapus
    3. Iya ya, kalo dipikir hampir mirip kisahnya dengan Siti Badriah eh Nurbaya ya.😂

      Hapus
  6. Lanjutkan mas agus...💪saya penasaran sama endingnya... Udah sampai part 4 aja. Pasti kalau nulis kayak satria nih, nggak bisa berhenti😁
    Apakah di bawah lantai kamar mandi itu ada harta karun atau mayatnya larasati?🤔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah rilis part 4 nya, kan ada linknya dibawah tulisan bersambung.

      Kayaknya dibawah lantai kamar mandi itu tidak ada mayat, adanya celengan satria.😂

      Hapus
  7. Apik je critane ... , aku sampai tertegun bacane 😊.
    Terus saking keasikan baca baru nyadar kalau part 3 ini munculnya diatas part 4.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak cuma aku aja berarti yang mikir kyk gitu mas Him. Aku kira salah posting ini mas Agus. Ternyata postingnya di hari yang sama.😂

      Hapus
    2. @Himawan, sengaja mas biar yang baca ngga terlalu lama menanti lanjutan part 4 nya. Makanya part 3 lama postingnya.

      Hapus
    3. @Roem, wah kok bisa sama mikirnya, apa pakai telepati atau telepon kalo ya.😁

      Hapus
  8. Serangan terakhirnya telak banget itu, Mas Agus. Kalau tanding tinju udah pelanggaran itu... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, harusnya bang Morishige yang jadi wasitnya. Jadi langsung bilang kalo pak Jon menang KO.😂

      Hapus
  9. kalau dah sampai beri ubat tidur tu, nampak sangat memang dia ada niat tak baik / motif tertentu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak Anies, hati hati kalo bepergian, takut ada yang ngasih obat bius juga, tahu tahu hape hilang.😂

      Hapus
  10. Eh, ternyata Larasati bisa ngambek juga wkwkwkwwkwk :) Btw Bu Nita taunya cari duit dengan berjualana aja ya, kalo Satri dengan nulis gituh. Jadi beneran si Vera ninggalin Satria? Atau bakalan balik lagi ga kira2? Jangan2 ntar Larasati kembali menjadi manusia lagi hihihi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah, selain ngambek Larasati juga suka cemburu.😄

      Baca part 4 saja, udah ada disana semuanya.😊

      Hapus
  11. Ternyata mas agus hobi ngutang di warung yaa kwkwkwk

    BalasHapus
  12. Bu Nita kalau sayang sama anaknya jangan biarkan anaknya kawin sama Agus, Bu. Kasihan kalau nikah sama pengangguran banyak acara nanti masa depannya bisa suram lho..😂

    BalasHapus
  13. Mas Agus minta tolong ya, ada yang bisa bantu ku untuk hapus sistem aplikasi di smule / wesing please ini menyangkut keselamatan saya. Saya mohon bantuane mas Agus dan seluruh teman blogger.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya tidak tahu mbak, saya ngga pakai smule ataupun wesing. Emang kenapa sih?

      Hapus
  14. jadi ini hasil menghayal to, kirain kisah nyata hahaha... lanjutkan biar dapat duit banyak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duit banyak dari hasil kuli bangunan kang, kalo ngeblog mah tidak ada duitnya.🤣

      Hapus
  15. Aku tebak ini pasti ex suami larasatti yaaa :D. Dan mayatnya berarti disembunyikan di kamar mandi, bener gaaa:D?

    Makin seru loh ceritamu. Aku pgn tau apa endingnya sesuai tebakan, ato lagi2 diluar dugaan :D.

    BalasHapus
  16. Wahahaha. Satria jadi novelis terkenal uy, btw jd ingat kl tetangga pd nanya. Kerja jd blogger enak ya nulis doang dpt duit, pdhl ya pdhl. Hhhh
    Baru tahu ada hantu baik hati macam laras, hihi. Jd kepo siapa laki2 paru bayanya🥺

    BalasHapus
  17. wah kira2 ada laras di dunia nyata nggak ya? ehehe
    e tapi kalau bu nita pasti ada di dunia nyata nih, emak2 yang nggak suka sama pacar anaknya karena pengacara, wkwk

    BalasHapus
  18. Wah, ceritanya panjang tapi menarik. Saya bacanya deg2an. Pengen lanjut baca cerita2 sebelumnya :)

    BalasHapus
  19. Oh my god... Mas bagus banget, ceritanya ngalir banget... Sampeyan cocok nek jadi satria dalam cerita ini. Novelis terkenal.. Aminn

    Larasati, namanya cantik, kasian banget kalau ternyata beneran dibunuh.. nggk mau menerka2 tapi kayanya si tamu kehormatan satria itu yg ngebunuh dan yang datang sebagai maling di part 2 kemarin.

    Bu Heni sama bu Nita ini tokohnya kaya bu Tedjo yah.. informan kampung.. hahah update masalah apapun.. dasar Ibu2. Kepikiran aja buat ngomong "katanya sih ada yg bilang kalau Larasati dibunuh"

    BalasHapus
  20. wow wow wowww cinta 2 dunia ini, bagaimana kelanjutannya pemirsa, aku baca duu part 4 ya hehehe

    BalasHapus