Kiriman santet pada tetanggaku
Aku menaruh ransel yang kubawa, setelah itu baru mengetuk pintu rumah. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya langsung membukanya dengan wajah senang. Melihat wanita itu aku langsung mencium tangannya.
"Alhamdulillah Gus kamu sudah pulang. Sehat saja kan." Tanyanya dengan penuh perhatian.
"Alhamdulillah sehat Bu. Ibu juga sehat kan, bapak mana?"
"Bapakmu lagi tidak enak badan."
Tentu saja aku terkejut." Hah, bapak sakit Bu?"
"Tidak apa-apa, paling masuk angin saja, tadi sudah ibu dikerok. Biarkan bapak istirahat, besok saja kalo mau ketemu, kamu juga capek kan baru pulang dari Jakarta."
Aku segera menurunkan tas yang aku bawa lalu menuju kamar bapak untuk melihat kondisinya, yang ternyata sudah bangun begitu mendengar suara kami.
"Sehat pak." Tanyaku sambil tak lupa mencium tangannya.
Bapak agak tertawa sedikit." Yah, beginilah bapak Gus, kadang sakit-sakitan, maklum sudah tua."
Keesokan harinya ibu sudah bangun pagi-pagi lalu memasak sayur kangkung dan ikan bandeng kesukaan ku. Tentu saja aku senang walaupun tak enak, sudah besar tapi masih diladeni oleh ibu. Ketiga kakakku yang sudah berumah tangga tentu akan mengolok-olok kalo tahu. Untunglah mereka sudah pisah rumah, ikut dengan suami atau istrinya, hanya tinggal aku yang masih jomblo.
Sebenarnya ibu beberapa kali ingin menjodohkan aku dengan anak tetangga, Ningsih misalnya tapi aku tolak karena tidak ingin dijodohkan, ingin cari istri sendiri walaupun seringkali gagal. Sudah dua kali aku pacaran tapi kandas terus.
"Gus, kalo nanti sudah makan, kamu tengoklah pak Leman." Kata ibu setelah selesai makan.
Aku yang sedang menikmati teh poci buatan ibu tentu saja terkejut." Memang kenapa pak Leman Bu?"
"Ia sedang sakit, sudah hampir lima bulan ini. Udah dibawa ke dokter tapi katanya cuma sakit biasa, tapi anehnya tidak sembuh-sembuh."
"Wah, kok bisa begitu ya."
"Kata orang sih, pak Leman kena guna-guna."
Deg, hatiku langsung terkejut. Soalnya hal seperti ini masih lumrah di desaku biarpun katanya internet udah mau 5g dan sudah dibuktikan kalo di bulan itu tidak ada kelinci.
Perlu diketahui, pak Leman itu tetangga sebelah rumahku yang masih satu RT. Tidak ada hubungan keluarga langsung sih ke kecuali sebelum aku merantau ke Jakarta pernah ikut dengannya bantu bantu toko atau istilah nya pembantu.
Beliau memiliki sebuah toko sembako di sebuah perempatan jalan yang cukup ramai. Pak Leman cukup baik sih sering memberinya uang jajan tapi sayangnya gajinya kecil, maklum namanya kampung. Karena itu begitu ada temanku yang kerja di Jakarta dan sukses aku menyusulnya kesana. Tentu saja, aku sebelumnya ijin dahulu pada majikanku kalo aku ingin mengadu nasib ke ibukota.
Hubungan ku dengan pak Leman baik-baik saja. Kalau lebaran dan mudik, aku pasti ke rumahnya untuk silaturahmi. Aku mengangguk dan berjanji akan kesana.
Sehabis Maghrib aku baru kerumahnya, itupun setelah diingatkan oleh ibuku karena aku seharian jalan-jalan di tempat wisata di kota ku.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsakam." Jawab seseorang. Tak lama kemudian seorang wanita seumuran ibuku keluar.
"Eh nak Agus, kapan pulang nak?" Tanya istri pak Leman, Bi Saodah namanya.
Akupun menjawab lalu mengatakan maksud kedatangan ku. Bi Saodah lalu membimbing ku ke kamar di belakang.
Aku terkejut ketika melihat kondisi pak Leman. Ia yang dulu gemuk sekarang tampak kurus kering sehingga tulangnya kelihatan. Ia tampak tidak melihatku, matanya seperti menerawang dan hanya tiduran saja tak bisa bangun.
Bi Saodah lalu bercerita sambil sedikit menangis." Begitulah kondisi bapak nak, sejak sakit beberapa bulan lalu kondisinya terus memburuk. Kami sudah bawa ia ke beberapa dokter dan rumah sakit tapi tetap begitu saja. Pertama membaik, tapi selanjutnya memburuk. Uang kami sudah habis buat berobat bapak, hanya tinggal toko sembako yang ada, tapi barangnya pun sekarang makin sedikit karena uangnya selalu habis buat berobat dan makan kami."
Aku terkejut mendengarnya. Pantesan waktu masuk rumah kok terasa kosong, biasanya banyak barang-barang di rumahnya. Motor Honda PCX yang lebaran kemarin aku lihat juga sudah tak ada.
"Mengapa tidak dibawa ke orang pintar Bu, ustad atau kyai gitu."
"Sudah, kami sudah bawa beberapa ustad ataupun kyai bahkan dukun tapi kondisinya tetap begitu. Pertama baik sehari dua hari, tapi kemudian turun lagi. Kata mereka, bapak kena guna-guna." Jawab wanita separuh baya itu dengan sesenggukan.
Aku hanya bisa diam, baru kemudian sadar." Maman kemana Bu?" Tanya ku. Maman adalah anak terakhir pak Leman yang cukup akrab denganku.
"Dia tadi ke rumah pak Dirman, barang kali saja bapak bisa tertolong." Jawab tuan rumah.
Pak Dirman adalah salah satu orang pintar atau dukun di desa sebelah. Namanya cukup termasyur di daerah sini, cuma kadang beberapa orang agak segan meminta tolong padanya karena ia penganut aliran kejawen. Aliran ini memang makin tersingkir kan disini dan orang-orang lebih suka meminta tolong pada ustad atau kyai kalo ada masalah. Aku sendiri baru sekali melihatnya waktu masih kecil saat almarhum kakek masih hidup dimana kakekku minta tolong karena dadanya terasa nyeri. Kakek memang cukup dekat dengan kejawen bahkan menyimpan beberapa keris, yang sekarang sudah dibuang semua oleh bapak ku.
Tak lama kemudian terdengar suara motor. Maman lalu datang diiringi seorang lelaki tua dengan wajah angker dan berwibawa. Tentu dialah pak Dirman batinku.
Setelah memeriksa kondisi pak Leman, dukun itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya." Penyakit bapak parah Bu, aku memang bisa saja membuang santet yang menyerangnya tapi kondisinya mungkin tidak bisa kembali seperti semula. "
"Tolong lah pak, asal bapak sembuh tidak sakit sakitan juga tidak apa-apa." Pinta bi Saodah sambil sedikit menangis.
Pak tua yang rambutnya sudah putih semua tapi masih berjalan tegak itu mengangguk.
"Siapa yang mengirim santet itu pak?" Ujar ku ingin tahu.
Pak Dirman melihat kepadaku. Agak keder juga aku dibuatnya." Nama orangnya tak bisa ku sebut nak, tapi yang jelas ia saingan toko sembako bapakmu." Jawabnya, mungkin dikira aku anaknya pak Leman karena aku dirumahnya.
Pak Dirman itu lalu memintaku untuk menyiapkan air putih dalam baskom. Kepada Maman ia minta disiapkan bara api untuk membakar dupa dan beberapa perlengkapan lainnya.
Aku menurut walaupun bi Saodah mencegahku. Tak enak bukan, apalagi pak Leman sedikit nya pernah berjasa kepadaku.
Orang tua itu tampak mengeluarkan beberapa barang yang dibawanya. Air putih dalam baskom itu lalu dicampur dengan kembang tujuh rupa dan entah apalagi yang aku tidak tahu namanya. Bau menyan agak menyengat keluar ketika ia membakarnya.
Bi Saodah sendiri sebenarnya memberi ijin kalo misalnya aku ingin pulang tapi aku menolaknya. Kupikir tidak ada salahnya melihat ritual ini biarpun aku tentu saja tidak setuju dengan kelakuan dukun seperti ini, tapi apa boleh buat. Toh bukan aku yang mengundangnya.
Tak lama kemudian pak Dirman meminta sebuah linggis. Tentu saja aku heran, tapi akhirnya menurut juga lalu pulang ke rumah untuk mengambil linggis karena dirumah pak Leman tidak memilikinya.
"Bongkar keramik di depan pintu kamar bapakmu, tapi hati-hati." Perintahnya lagi. Tentu saja aku heran, pertama buat apa sih membongkar lantai, kedua apa tuan rumah memperbolehkan.
Maman sendiri langsung mengambil linggis dari tanganku lantas mulai membongkarnya. Sambil menunggu tak kemudian terdengar suara pintu diketuk lalu pintunya terbuka. Ternyata saudara-saudara pak Leman dan juga anak-anaknya yang ditelepon baru datang kesini. Mereka lalu ikut membantu membongkar sementara aku cuma memperhatikan.
Tak lama kemudian keramik lantai itu sudah terbongkar. Pak Dirman lalu menyuruh mereka pelan-pelan mengeruk tanahnya dengan tangan. Anak-anak pak Leman menurut lalu mulai mengambil tanah dengan tangan.
Maman yang ikut membantu tiba-tiba mundur, sementara kang Noto kakaknya menjerit. Aku penasaran lalu mencoba melihat apa yang membuatnya menjerit.
Ternyata dalam tanah itu tampak sebuah boneka kecil yang lehernya terlilit oleh rambut yang panjang. Tentu saja aku ikut terkejut dan agak takut juga, bagaimana mungkin ada sebuah benda seperti itu dalam tanah, merinding melihatnya.
"Benda inilah yang menyebabkan sakitnya bapak kalian. Sekarang buanglah boneka ini di sungai besar yang airnya mengalir, biar penyakitnya ikut hanyut." Ujar pak Dirman lantas membungkus boneka itu dengan kain hitam lalu membungkus lagi dengan kantong plastik hitam.
Kang Noto, anak tertua pak Leman dengan sigap segera mengambilnya lalu dengan Maman segera keluar untuk membuangnya. Aku sendiri lantas pamit karena hari sudah larut malam, hampir jam 11.
Esok harinya ketika aku kembali bertamu pak Leman tampak sudah agak mendingan. Ia sudah bisa mengenali ku walaupun belum bisa bangun dari tempat tidur. Tentu saja aku lega melihatnya.
Sore harinya aku lalu iseng iseng bertanya pada Maman berapa uang yang diminta oleh pak Dirman itu.
"Sejuta Lima ratus ribu." Begitu katanya. Aku agak kaget juga, kok mahal juga ya.
"Biar sajalah, rejeki bisa dicari, yang penting bapak sembuh." Jawab Maman. Aku setuju saja karena memang kesehatan lebih utama.
Tiga hari kemudian aku terpaksa kembali ke Jakarta karena pak Dahlan, bos tempatku bekerja menelpon untuk segera berangkat. Sebelum berangkat aku sempatkan untuk menengok pak Leman sekali lagi. Kali ini ia sudah bisa bangun walaupun harus dibantu oleh dua anaknya. Tentu saja aku lega karena sepertinya beliau akan sembuh.
Setelah sebulan di Jakarta dan aku mulai melupakan kejadian tersebut, pada suatu sore datang sebuah telepon dari kampung, tepatnya dari Maman.
"Gus, bapak ku meninggal Gus."
"Innalilahi wa innailaihi rojiun."
Aku lalu bertanya sebabnya. Maman lalu memberi tahu kalo ayahnya sakit lagi setelah dua minggu sejak pengobatan tersebut. Aku hanya bisa mengungkapkan bela sungkawa sambil tak lupa minta maaf tidak bisa pulang kampung karena pekerjaanku sangat banyak disini. Ia memakluminya.
Tiga hari setelah pak Leman dikuburkan, pada suatu malam seorang tamu datang ke rumah pak dirman.
"Pak Dirman, ini amplop berisi sisa pembayaran uang 5 juta. Terima kasih sudah menyingkirkan saingan saya pak."
TAMAT
sbg wong jawa juga, aku bisa relate sama karakter2nya.
lama banget euy ga baca cerita2 kejawen gini.
semoga kita selalu terhindar dari para pembenci dan pendendam.
Cakep, bintang Lima!
Tapi serius, kepo banget sama yang suruh Pak Dirman bunuh Pak Leman tuh siapaaaaa. Kok tega. Emang dunia bisnis tuh jahat gini ya, mas?? Apalagi kalau pake dukun.😱😱😱
tapi sepertinya cerita begini ada di dunia nyata lho. soalnya di tempatku denger2 masih banyak yang suka 'merdukun'
aku tuh menerka-nerka, siapa nih musuh dalam selimutnya, soalnya ada karakter-karakter yang notabene bisa dicurigai.
tebakanku meleset, dan g disangka kalau pelakunya..
huaaa!!! mind blowing!!!
Mana menang banyak lagi tuh dukun, dapat uang dari Pak Leman dan saingan Pak Leman.
Apa ngga takut sama yang namanya dosa ya ?.
Kanan kiri dapat.
Makanya kini orang berlomba-lomba ingin jadi orang pintar. Cepat kaya.
Wah itu masakan kangkung, kesukaan saya juga tu
subhanallah ada ya orang seperti itu
eh ini fiksi ya tapi aku yakin di dunia nyata ada saja orang seperti itu
kalau ada part selanjutnya aku ingin pak dirman kena azab kayak FTV di indosiar huhu
Btw ini templatenya samaan yah mas sama kaya saya...? Awalnya smpet bingung karena tak pikir saya lagi balik ke blog saya.. Ehh ternyata templatenya yg baru diganti.. Jadi makin kece mas..
Sebenarnya, seandainya teknik ini dipelajari dengan baik, bisa saja kita nanti memasukkan pisau operasi untuk melakukan operasi tanpa bedah, tapi dengan teknik santet...
Dan saya pernah dengar kalau sebenarnya teknik santet ini memang awalnya adalah untuk pengobatan...
entahlah :D
kalau dibuat sinetron azab kira2 bagusnya judulnya apa ya ini :D
Praktek seperti ini percaya gak percaya ada dan pembaca Indonesia bisa relate...memang selalu ada unsur dendam, iri hati, atau jegal lawan...
Maksudnya si bapaknya meninggal, karena bonekanya dibuang? :D
Jujur, di keluarga saya baik dari kakek di bapak saya, maupun nenek di keluarga mama, masing-masing punya kelebihan ilmu-ilmu demikian.
Kakek dari bapak saya tuh yang paling terkenal, setiap Jumat malam rumahnya kalah deh ama dokter spesialis, rame betul yang antri mau 'berobat'.
Tapi lucunya, entah karena saya kurang percaya yang gitu-gitu, kalau ngobatin saya nggak sembuh, sementara orang lain bisa manjur gitu.
Kalau menurut saya, itu kayak balik lagi ke psikolog kali ya, kekuatan pikiran.
Kalau kita bener-bener percaya tentang hal itu, kekuatan pikiran itu yang membantu kita pulih atau sembuh.
Nah masalahnya saya nggak percaya ama kakek saya, nggak tahu kenapa, saking saya dibesarkan dengan banyak-banyak pakai logika kali ya, meski dulu waktu kecil saya jarang sholat, di rumah malah kagak ada yang sholat.
Tapi saya percaya, kuncinya segala sesuatu itu ya di Tuhan.
Makanya, logika saya menolak percaya, pada orang yang semacam menduakan Dia.
Lah kakek saya sering cerita, ilmu itu dia dapatkan dari berkali-kali semedi di tengah hutan belantara, dan dia punya semacam pantangan agar ilmu itu berhasil, salah satunya adalah, nggak boleh sama sekali pakai celana, hanya boleh pakai kain.
Meskipun saya jadi berpikir, jadi kayak orang haji ya, nggak boleh pakai pakaian berjahit.
tapi sejujurnya, saya pernah dimandiin kakek saya.
Dulu, betis saya tuh sering sakit banget kayak ditusuk-tusuk.
Pas juga waktu itu, bapak saya marahan ama tetangga yang sering ngambil buah di tanah kami tanpa izin.
Kakek saya menduga, saya menginjak 'sesuatu' yang ditanam nenek-neneknya tetangga itu.
Langsung deh saya dimandiin, pakai air jampi-jampi, tapi nggak pakai kembang 7 rupa sih wakakakaka.
Dan believe or not, sampai sekarang, saya kalau mukul orang tuh biar dikata menurut saya pelan, orang langsung teriak kesakitan.
Itulah kenapa, kalau saya marah ama anak-anak, saya milih teriak, daripada saya emosi dan mukul anak-anak, bahayaa..
Bukan itu saja, kira-kira 3 tahun setelah saya dimandiin itu, saya pernah operasi kecil di bagian bahu saya, karena ada benjolan kecil yang dicurigai tumor kulit.
Pas operasi, tauk deh entah pisaunya atau apanya yang tumpul, tapi dokter tersebut ngakak ama kakak saya, lah sulit banget lukain kulit saya buat angkat tuh benjolan.
Pas selesai, kakak saya cerita ke mama karena saat itu mama nggak ikutan masuk, katanya kulit saya kek kulit badak, keras banget dilukain.
Mama langsung terdiam, lalu menceritakan tentang saat saya pernah dimandiin kakek saya, mama pikir mungkin karena itu.
Cuman kayaknya sekarang udah nggak ngaruh kali ya, karena 2 kali sesar, nggak dengar tuh dokternya kesulitan belah kulit saya, atau mungkin juga mereka nggak ngomong kali ya.
Tapi yang jelas, saya tetep luka kok kalau saya nggak hati-hati pegang pisau hahahaha.
Oh ya, kalau di nenek dari mama saya, mereka tuh lebih ke ilmu para wanita.
Dari menerawang, sampai sering didatangin wanita-wanita minta doa biar disayang suami hahahaha.
Tapi lucunya, bahkan mama saya sering berantem ama bapak, sedikitpun mama nggak mau terima even ditawarin.
Dan saya bersyukur banget, meski punya ortu yang terlihat kagak harmonis, dulunya jauh banget dari Tuhan, tapi Alhamdulillah iman mereka masih dikuatkan untuk hal-hal seperti itu.
Kalo baca yg begini, kdg antara percaya dan ga percaya yaaa. Ga pengen percaya Krn takut musyrik. Tapi aku tau ilmu hitam bgini memang ada. Semoga slalu dijauhin lah dr orang2 pengguna ilmu hitam. Keluarga suamiku msh ada yg percaya Ama kejawen mas. Yg pake sajen supaya ga hujan. Aku serem jujurnya. Krn keluargaku sendiri malah fanatik bgt agamanya.
Tapi syukurnya suamiku ga ikutan. Awas aja kalo berani.